Dong Wook masuk ke dalam ruang guru sambil memeriksa
buku – buku tugas para murid kelas 2 – 1 yang dikumpulkan padanya. Karena sibuk dengan
buku – buku itu, Dong Wook pun tak sengaja menabrak seseorang. Buku – buku yang
dibawa oleh Dong Wook jatuh. Ia segera mengambil buku itu dibantu oleh orang
yang ditabraknya barusan.
Melihat siapa yang menolongnya, Dong Wook terkejut. Ia
membeku. Seorang wanita yang tak asing dalam hidupnya kini ada di depannya. Sudah
sekitar setahun ia dan wanita itu tidak saling bertemu atau bahkan
berkomunikasi. Wanita itu tampak biasa saja melihat Dong Wook; ia tidak
terkejut.
“Maaf aku menabrakmu. Tadi, aku sedang membaca sms
sambil jalan.” Kata wanita itu santai sambil memberikan buku – buku yang
dipungutnya pada Dong Wook.
Dong Wook masih terdiam tak percaya. Setelah semua
buku ada ditangannya, ia berdiri diikuti oleh wanita di depannya. Dong Wook
ingin berbicara, tapi seakan – akan tenggorokannya
tercekat. Tubuhnya benar – benar membeku. Jantungnya berdegup tak karuan.
“Ae.. Yeon..” Suara Dong Wook pun akhirnya keluar
meskipun pelan dan tersendat.
Wanita bernama Ae Yeon itu tersenyum singkat. “Apa
kabar? Aku sudah tahu kalau kau akan bekerja disini. Kebetulan, aku yang
membantu wakil kepala sekolah untuk membaca lamaran kerja.”
Dong Wook mengangguk pelan. Ia masih tidak bisa
berkata – kata. Keadaan saat ini terlalu mengejutkan baginya. Mantan kekasih
yang belum bisa ia lupakan ada di depannya.
“Aku pergi dulu. Aku masih harus mengajar di kelas
tiga.” Kata Ae Yeon singkat dan bergegas pergi meninggalkan Dong Wook.
Dong Wook hanya menganggukkan kepala. Pandangan
matanya kemana – mana. Ia merasakan wajahnya panas, hingga kedua tangannya
berkeringat. Padahal, di ruangan guru yang besar itu terdapat empat air conditioner (AC).
©©©
Kevin berada di dalam ruang ganti. Ia membuka
lokernya dan memakai kaos yang tadi sempat ia pakai sebelum latihan renang. Tak
lupa, ia menyalakan ponselnya; mengetik beberapa kata lalu mengirim pesan
singkat itu pada Nana.
Kau dimana? - Pesan
semacam inilah yang biasa Kevin kirim pada Nana setelah ia latihan renang. Tak
sampai lima menit, balasan Nana datang. Senyum sumringah hadir diwajah tampan
Kevin.
Masih di sekolah. -
Balasan Nana cukup singkat, tapi itu cukup memberi energi untuk Kevin. Kevin tersenyum
lebih sumringah lagi. Ia segera menutup pintu lokernya dan membawa tas
selempangnya. Ia berlari sekencang mungkin agar bisa cepat sampai di sekolah.
Nana masih berdiri diam di depan pintu gerbang
sekolah. Ia memang sedang menunggu Kevin. Meskipun tadi Kevin tidak sempat
membalas pesannya lagi, Nana tahu Kevin akan datang menjemputnya. Setiap aku
pulang latihan, aku pasti menjemputmu di sekolah -- itu janji Kevin. Dan
sampai saat ini, Kevin belum pernah mengingkari janji tersebut.
Kevin sampai di depan Nana. Napasnya tersengal -
sengal; sampai - sampai ia menunduk memegangi kedua lututnya. Jarak antara
sekolah dengan tempat latihannya cukup jauh. Wajar saja kalau energi Kevin
terkuras sangat banyak. Kevin menengadah; melempar senyum
konyol pada Nana. "Aku tidak telat 'kan?"
Tanya Kevin disertai helaan napas.
Nana tersenyum hangat dan menggeleng. Kemudian, ia
mengeluarkan tisu dari dalam tasnya. Ia mengambil
beberapa lembar tisu untuk menghapus keringat Kevin yang bercucuran dipelipis
Kevin. "Kenapa tidak naik bus saja? Kau hari ini tidak bawa motor?"
Nana bertanya balik.
Kevin berdiri dengan tegap. Nana pun menghentikan
aktifitasnya mengelap keringat Kevin. "Ada senior yang tidak suka kalau
aku membawa motor." Sahut Kevin disertai senyum ketir.
Nana membalas senyum Kevin singkat. Lalu mengelap
keringat Kevin lagi. "Tidak apa - apa. Kita memang yang harus
mengalah." Ucap Nana lembut. Selesai mengelap keringat Kevin, Nana
memasukkan lagi tisu yang bersih ke dalam tas. Dan membuang tisu yang sudah
dipakainya ke dalam tong sampah (tidak
jauh dari tempatnya berdiri).
Dong Wook keluar dari gedung sekolah. Langkahnya
terhenti ketika melihat Nana dan Kevin yang berjalan bersama. Rasa tidak suka
mulai menghampiri Dong Wook. Dadanya terasa sesak melihat Nana begitu akrab
dengan Kevin. Air mukanya tampak seperti orang sedang cemburu. Mendadak,
jantung Dong Wook serasa ditusuk ratusan paku; melihat Kevin yang mengacak
rambut Nana.
Mereka sedang apa? Kenapa Nana pulang bersama bocah
itu? Bukannya dia tadi tidak masuk sekolah? –
Dong Wook bertanya - tanya dalam hati. Tapi kemudian, ia tersadar. Dong Wook
bingung dengan sikapnya barusan. Kenapa dia harus merasa tidak suka? Nana
hanyalah seorang murid baginya. Tidak lebih. Dong Wook yakin kalau ia tidak
mungkin akan jatuh cinta dengan muridnya sendiri. Itu mustahil. Tidak ada dalam
kamus hidupnya.
Satu
tahun yang lalu.
"Untuk apa kau mau menikahi wanita ini? Dia
tidak pantas untukmu Dong Wook. Ibunya mantan seorang pelacur!" Teriak Ibu
Cha sambil menunjuk wanita yang berdiri di belakang Dong Wook.
"Eomma (Ibu), Ae Yeon tidak seperti yang Eomma
pikir. Ae Yeon sangat baik." Dong Wook berusaha membela Ae Yeon –
kekasihnya.
"Tidak! Pergi kau! Ibumu sudah begitu kotor!
Bukan tidak mungkin kalau kau juga kotor!" Seru Ibu Cha mengusir Ae Yeon.
Bulir - bulir air mata Ae Yeon mengalir deras dari
pelupuk matanya. Ae Yeon merasakan dadanya begitu sesak; hatinya sangat sakit.
Kata - kata Ibu Cha sangat menggores hatinya. Ae Yeon berjanji dalam hati kalau
ia tidak ingin berhubungan lagi dengan Ibu Cha. Ae Yeon juga berjanji akan
mengingat luka yang Ibu Cha torehkan untuknya.
Ae Yeon pun pergi dari rumah Dong Wook. Saking sakit
hatinya, Ae Yeon lupa untuk mengucapkan kata permisi. Dong Wook dilanda
kebingungan; antara harus tetap diam di rumah atau mengejar Ae Yeon. Tapi, akhirnya Dong Wook tetap memilih Ae Yeon. Dong Wook
menyusul Ae Yeon.
"Dong Wook!!" Teriak Ibu Cha histeris
marah.
Dong Wook terus mengejar Ae Yeon sampai ke pinggir
jalan raya. Dan Dong Wook pun berhasil menggenggam lengan Ae Yeon; mencegah Ae
Yeon pergi. "Ku mohon. Jangan tinggalkan aku. Aku akan berusaha meyakinkan
ibuku. Ae Yeon - ah, kau wanita
pertama dimana aku bisa merasakan jatuh cinta. Ku mohon Ae Yeon, maafkan
perkataan ibuku tadi. Ku mohon..."
Ae Yeon melepas genggaman Dong Wook. Kedua mata Ae
Yeon semakin memerah. Ae Yeon menatap Dong Wook sangat tajam. Mendadak, rasa
cinta Ae Yeon untuk Dong Wook tergantikan oleh rasa sakit yang begitu dalam.
"Lebih baik kita berhenti saja sampai disini." Ucap Ae Yeon tegas
sambil melepas cincin dijari manis tangan kirinya. Ae Yeon memegang tangan kanan Dong Wook; lalu meletakkan cincin
tersebut ke atas telapak tangan kanan Dong Wook.
"Mianhae (Maaf)." Kata terakhir yang
diucapkan Ae Yeon sebelum ia bergegas pergi meninggalkan Dong Wook.
Persendian Dong Wook terasa lemas. Dadanya sesak. Jantungnya berdegup tak karuan.
Perasaan tak menyenangkan menyelimuti
seluruh tubuhnya. Kedua lutut Dong Wook bergetar lemas hingga ia terduduk dijalan. Buliran air mata mulai
menetes dari pelupuk mata Dong Wook. Tangisnya pun pecah. Orang - orang yang
berlalu - lalang heran melihat Dong Wook. Tapi, Dong Wook tidak peduli dengan
orang - orang yang membicarakannya. Dong Wook tetap menangis sambil memegang
erat cincin yang pernah dipakai Ae Yeon itu.
Selama ini Dong Wook masih belum bisa melupakan
mantan kekasihnya. Bahkan, sekarang lebih sulit untuk melakukan hal itu. Karena
mantan kekasih Dong Wook juga menjadi guru di SMA Wang Guk. Pacaran selama lima
tahun dan putus begitu saja tidaklah mudah bagi Dong Wook untuk melupakan.
Apalagi mengingat perjuangannya untuk mempertahankan hubungan itu meski sudah
ditentang oleh ibunya.
Dong Wook pun menyadarkan dirinya sendiri. Ia tidak
ingin mengingat masa lalu. Ia juga tidak ingin terlibat perasaan dengan
siswinya sendiri. Jika itu terjadi, akan ada bumerang dihidupnya. Sudah cukup
sekali saja hubungannya ditentang oleh orang tua. Ia tahu, kalau sampai ia
jatuh hati pada seorang siswi; hubungannya pasti akan ditentang keras oleh
ibunya.
Dong Wook menggeleng pelan. Ia
kembali melangkah menuju halaman parkir. Sesegera mungkin ia masuk ke dalam
mobil sedannya. Ia meletakkan tasnya dibangku belakang. Lalu, menyalakan mesin,
dan menginjak pedal gas. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan rata - rata.
Bersambung...