Sabtu, 31 Oktober 2015

17:25 - 5

Nana sudah duduk di tempatnya. Pojok kanan paling belakang sendiri kalau dilihat dari depan. Sebenarnya ia tidak suka duduk di belakang, karena tulisan guru di papan tulis jadi kurang jelas. Alasan utama Nana duduk di belakang adalah padatnya jadwal pemotretan terkadang membuatnya mengantuk saat pelajaran.

Guru Sastra masuk ke dalam kelas. Suasana yang sebelumnya gaduh mendadak jadi tenang. Tanpa mengatakan apa pun, Guru Han – si Guru Sastra menuliskan sesuatu di papan tulis. Guru Han meminta agar para siswa menulis esai seperti yang sudah dijelaskan tempo hari.

"Hari ini Saya tidak bisa mengajar kalian. Ada urusan penting dari sekolah yang harus Saya kerjakan. Tugas ini harus dikumpulkan hari ini juga. Paling lambat pulang sekolah." Kata Guru Han tegas. Sudah sejak lama Guru Han terkenal dengan ketegasannya karena ayah beliau adalah tentara.

"Baik Pak." Sahut para murid bersamaan.

Nana menghela napas panjang sambil mengeluarkan buku tugas dari dalam lacinya. Lagi - lagi jam kosong. Tunggu beberapa menit lagi; Si Yeon akan datang padanya dan menganggunya seperti biasa. Sebenarnya, Nana mencoba biasa saja; ia tidak takut dengan Si Yeon. Nana hanya lelah. Malas diganggu. Malas melawan.

Sepuluh menit setelah Guru Han pergi dari kelas. Si Yeon beranjak dari duduknya dengan membawa buku tugasnya. Si Yeon berjalan ke arah Nana. Setelah sampai di depan Nana, Si Yeon meletakkan buku tugasnya di atas meja Nana. "Kerjakan itu. Aku lelah." Kata Si Yeon sambil menyilangkan kedua tangannya.

Nana menghela napas dan memutar bola matanya. Ia membuang buku Si Yeon ke lantai; sukses membuat anak sekelas heboh, terkejut, dan kagum pada Nana."Daebak (Keren)! Nana masih berani melawan Si Yeon!" Kata - kata semacam inilah yang muncul dalam benak anak - anak sekelas yang melihat pertengkaran Nana dan Si Yeon.

Si Yeon marah. Rahangnya mengeras. Kedua tangannya mengepal. Si Yeon menarik kerah baju Nana; membuat Nana berdiri. "Ya!" Teriak Si Yeon tepat di depan wajah Nana.

Nana tersenyum miring; melakukan hal yang sama seperti yang biasa Si Yeon lakukan.  "Kenapa? Kau tidak terima? Pungut saja bukumu itu." Kata Nana santai. Tiba - tiba muncul keberanian dalam diri Nana untuk – lebih – melawan Si Yeon. Nana menarik tangan Si Yeon dari kerah bajunya.

Nana melirik buku tugas Si Yeon yang tergeletak di lantai. Kemudian, ia menatap tajam Si Yeon. Tatapan Nana seakan - akan menusuk kedua bola mata Si Yeon. "Kau pikir aku akan takut padamu karena video itu? Tidak. Tidak akan. Bukankah sudah kubilang. Aku. Tidak. Pernah. Takut. Padamu." Kata Nana tegas sambil menepuk pelan bahu kiri Si Yeon; seolah ia membersihkan debu disana.


Cha Dong Wook melewati kelas 2 - 3. Hari ini ia mendapat tugas piket. Jadi, ia mengawasi kelas 2 - 3 karena Guru Han tidak mengajar. Dong Wook terkejut melihat kelas 2 - 3 begitu gaduh. Ia tidak langsung masuk. Mengawasi dulu dari luar. Lagi - lagi, Si Yeon mengganggu Nana. Rasa kesal menggerayapi hati Dong Wook. Ia merasa tidak rela Nana diganggu seperti itu. Tapi kemudian, ia dibuat terkejut lagi saat Nana berani melawan Si Yeon. Inilah kesempatan Dong Wook untuk menolong Nana.

Dong Wook masuk ke dalam kelas. Ia mengetuk pintu kelas dengan kepalan tangan. "Nana! Keluar dari kelas!" Panggil Dong Wook tegas disertai dengan ekspresi marah.

Nana terdiam. Rahangnya mengeras. Baru saja ia mau menampar Si Yeon dengan kata - katanya, tapi Dong Wook malah datang. Menyebalkan. Apalagi melihat tampang Si Yeon yang mengejek. Nana semakin kesal. Nana pun keluar dari kelas; mengikuti Dong Wook dari belakang.

Dong Wook membawa Nana ke dalam ruang konsultasi. Dong Wook menyuruh Nana untuk duduk dan menunggu sebentar. Nana hanya mengiyakan saja. Dong Wook pun keluar dari ruangan tersebut selama sepuluh menit, lalu kembali lagi dengan susu kotak ditangannya. Dong Wook duduk di depan Nana dan memberikan susu kotak rasa vanila itu pada Nana.

Nana mengernyit. "Guru Cha tidak memarahiku?" Tanya Nana bingung.

Dong Wook terkekeh pelan. "Kau pikir aku akan memarahimu?"

Dong Wook menggelengkan kepala. "Tidak. Justru aku ingin menolongmu. Kau di kelas diganggu Si Yeon ‘kan? Aku melihatnya tadi. Hanya saja, aku mencari timing yang tepat untuk menolongmu." Dong Wook menjelaskan.

Nana mengangguk mengerti. Sudut bibirnya naik ke atas. Ia tersenyum malu. Ia tak menyangka ada seorang guru yang sampai seperti ini padanya. "Terima kasih, Sir." Katanya terdengar malu - malu kucing.

Dong Wook ikut tersenyum. Ia membukakan kotak susu yang dibawanya tadi, "Cepat minum. Nanti akan kuberikan waktu untukmu mengerjakan esai dari Guru Han."

Nana mengangguk dengan semangat. Ia segera meminum susu tersebut sampai habis dalam sekali teguk. Wajar saja hal itu ia lakukan; karena Dong Wook memberikan susu kotak yang kecil. Melihat suasana hati Nana yang sudah mulai membaik, Dong Wook pun merasa lega. Tak henti - hentinya Dong Wook terkekeh pelan melihat tingkah konyol Nana.

"Cha Seonsaengnim (Guru Cha). Kenapa kau selalu baik padaku?" Tanya Nana sukses membuat Dong Wook mendadak canggung.

"Karena aku gurumu." Sahut Dong Wook singkat.

Mendengar jawaban itu, ada sedikit rasa aneh muncul dibenak Nana. Seperti rasa kecewa. Ia masih tidak percaya kalau yang dilakukan Dong Wook selama ini hanya sebatas kepedulian seorang guru pada muridnya. Tapi, Nana tetap meyakinkan dirinya sendiri. Dong Wook berlaku seperti ini padanya hanya sebatas perhatian guru pada murid yang dikucilkan. Hanya itu. Sebatas itu. Senyum Nana sedikit luntur. Dadanya sedikit terasa sesak. Jantungnya berdegup tak karuan. Tubuhnya mendadak panas - dingin.

Bersambung...