Nana tengah menyantap makan siangnya.
Sebenarnya, hari ini ia tidak begitu berselera makan. Ia masih ingat betul
pertengkaran dengan Ibunya tadi pagi. Ingin rasanya Nana lari dari semua ini,
tapi apa daya; ia tak bisa melakukannya. Nana sadar, hidupnya masih sangat
bergantung pada ibunya. Ia sadar, ia belum cukup dewasa dan mandiri. Ia masih
labil; mudah goyah oleh keadaan.
Kedua mata Nana mulai basah. Ia
merasakan matanya mulai terasa pedih. Ia ingin menangis. Tidak! Tidak boleh!
Nana tidak boleh menangis di depan banyak orang -- itu prinsipnya. Ia tidak
ingin terlihat lemah di depan orang lain. Nana pun melahap nasi cukup banyak
dalam sekali, untuk menahan diri agar tidak menangis.
Siyeon, Ji Ri, dan Soo Young datang
menghampiri Nana. Mereka bertiga langsung menumpahkan sisa - sisa makanan
mereka ke nampan makan milik Nana. Seketika, napsu makan Nana pun hilang.
Dadanya terasa sesak, dan wajah Nana memerah. Nana memejamkan matanya sejenak
sambil menghela napas perlahan.
Dong Wook yang beberapa menit lalu sudah
di kantin; terkejut melihat perlakuan Si Yeon dan teman - temannya pada Nana.
Dong Wook beranjak ingin menolong Nana, tapi Guru Yoo (guru olah raga) segera
menahan Dong Wook. Guru Yoo menyuruh Dong Wook untuk duduk kembali.
Dong Wook mengerutkan dahinya, "Wae (Kenapa)?", nada bicara Dong
Wook terdengar tak terima.
Guru Yoo berdehem, ia tak menatap balik
Dong Wook. "Biarkan saja. Itu sudah
biasa." Kata Guru Yoo sedikit berbisik.
Dong Wook menggelengkan kepala. Ia
heran; kenapa ada guru seperti itu. Melihat salah satu muridnya diperlakukan
tidak adil tapi malah dibiarkan saja. "Guru Yoo, apa kau tidak memikirkan
perasaan siswi yang di - bully
itu?"
Tiba - tiba para murid heboh. Dong Wook
pun mengalihkan perhatiannya ke tempat Nana lagi. Ia melihat Nana menampar Si
Yeon.
"Kau pikir aku ini apa, huh? Ya!
Lee Si Yeon. Aku tidak takut padamu! Meskipun ayahmu donatur di yayasan Wang
Guk." Kata Nana tegas dengan tatapan tajam menusuk pada Si Yeon.
Mendengar hal tersebut, mata Dong Wook
membulat. Jadi, Guru Yoo melarangnya membela Nana hanya karena Ayah Si Yeon
adalah donatur di Yayasan Wang Guk.
"Ya!" Bentak Si Yeon sambil mendorong Nana cukup kasar. Tapi,
Nana tidak goyah apalagi sampai jatuh. Nana cukup kuat menahan dirinya. Tatapan
mata Nana semakin tajam.
Dong Wook sudah tidak tahan melihat
pemandangan nista itu. Ia pun menghampiri Nana dan Si Yeon tanpa menggubris
Guru Yoo yang terus memanggilnya. Guru Yoo mengacak rambutnya; frustasi karena
guru baru itu akan membuat masalah di sekolah.
"Hentikan. Ini jam makan siang,
kenapa kalian malah bertengkar seperti ini? Kalian itu teman sekelas."
Dong Wook menceramahi.
Si Yeon melempar tatapan sengit pada
Dong Wook. "Menyebalkan. Guru Cha, dia sudah menggaguku tadi." Sahut
Si Yeon dengan suara lantang sambil mengacungkan jari telunjuk pada Nana.
Dong Wook tersenyum kecil dan menggeleng
pelan. "Tidak." Jawab Dong Wook disertai raut wajah yang tegas.
"Aku melihat kau yang mengganggu Nana duluan."
Si Yeon terkekeh pelan, "Aaa...
Nana punya pahlawan baru sekarang.." Kata Si Yeon sambil menatap jijik
pada Nana.
Si Yeon menyilangkan kedua tangannya di
dada, "Guru Cha tidak tahu siapa aku?"
Dong Wook melempar senyuman singkat pada
Si Yeon. "Aku tahu. Ayahmu donatur di yayasan." Sahut Dong Wook
santai.
Nana yang merasa muak pun memilih pergi.
Lagi - lagi ia harus dengar Si Yeon memamerkan posisi ayahnya. Memang apa bagusnya menjadi donatur? –
batin Nana. Biasa saja. Bagi Nana itu bukanlah hal yang hebat. Nana sangat
yakin kalau Ayah Si Yeon menjadi donatur itu pasti terpaksa; agar Si Yeon
dihormati di sekolah.
Dong Wook terdiam melihat Nana pergi. Ia
sengaja tidak mengejar Nana. Urusannya dengan Si Yeon belum selesai.
"Jadi, kenapa kau seperti ini? Si Yeon-ah,
Bapak tahu kau ini anak yang baik."
Si Yeon memutar bola matanya, ia
menghela napas panjang. "Ji Ri, kau sudah mengambil gambarnya tadi?"
Tanya Si Yeon pada Ji Ri yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
Dong Wook terdiam. Ia baru sadar kalau
sejak tadi murid - muridnya merekam pertengkaran Nana dan Si Yeon. Perasaan
Dong Wook mendadak tidak enak. Pasti Si
Yeon sudah merencanakan sesuatu yang jahat pada Nana – pikir Dong Wook.
Ji Ri mengiyakan pertanyaan Si Yeon
barusan. Senyum miring andalan Si Yeon pun muncul. "Guru Cha, kami permisi
dulu." Kata Si Yeon disertai seringaian kecil. Si Yeon dan ekornya (pengikut Si Yeon) pun pergi
dari kantin.
Dong Wook berkacak pinggang sambil
menghela napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Keadaan SMA Wang Guk
ternyata menyeramkan. Dong Wook segera teringat akan Nana. Ia pun beranjak dari
kantin; mencari Nana.
Di atap sekolah, Nana menyendiri. Angin panas
sepoi - sepoi menerpa rambut panjangnya. Ia menghela napas berkali - kali.
Dadanya terasa sesak; hatinya begitu sakit. Ia merindukan Indonesia, ia ingin
pulang ke negara asal. Ia yakin, di Indonesia ia tidak akan merasakan perbedaan
ras seperti ini.
Kedua mata Nana mulai basah, memerah.
Akhirnya, tetes demi tetes air mata mengalir dipipi tirus Nana. Tangisnya pun
pecah. Ia menangis tersedu – sedan hingga berlutut.
Dong Wook muncul dari balik pintu di atap.
Dong Wook melihat Nana menangis tersedu - sedan sambil berlutut. Dong Wook
berjalan pelan - pelan mendekati Nana.
"Nana..." Panggil Dong Wook;
ia ikut berlutut, di depan Nana.
Nana menundukkan kepalanya. Tangisannya makin
terlihat menyedihkan. Dong Wook yang tidak tega pun membelai rambut Nana dengan
lembut. "Gwaencahana (Tidak apa
- apa). Menangislah sampai kau lega." Kata Dong Wook; suaranya yang lembut
sedikit membuat Nana merasa tenang.
Bersambung...