Sabtu, 31 Oktober 2015

17:25 - 2

Nana tengah menyantap makan siangnya. Sebenarnya, hari ini ia tidak begitu berselera makan. Ia masih ingat betul pertengkaran dengan Ibunya tadi pagi. Ingin rasanya Nana lari dari semua ini, tapi apa daya; ia tak bisa melakukannya. Nana sadar, hidupnya masih sangat bergantung pada ibunya. Ia sadar, ia belum cukup dewasa dan mandiri. Ia masih labil; mudah goyah oleh keadaan.

Kedua mata Nana mulai basah. Ia merasakan matanya mulai terasa pedih. Ia ingin menangis. Tidak! Tidak boleh! Nana tidak boleh menangis di depan banyak orang -- itu prinsipnya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Nana pun melahap nasi cukup banyak dalam sekali, untuk menahan diri agar tidak menangis.

Siyeon, Ji Ri, dan Soo Young datang menghampiri Nana. Mereka bertiga langsung menumpahkan sisa - sisa makanan mereka ke nampan makan milik Nana. Seketika, napsu makan Nana pun hilang. Dadanya terasa sesak, dan wajah Nana memerah. Nana memejamkan matanya sejenak sambil menghela napas perlahan.

Dong Wook yang beberapa menit lalu sudah di kantin; terkejut melihat perlakuan Si Yeon dan teman - temannya pada Nana. Dong Wook beranjak ingin menolong Nana, tapi Guru Yoo (guru olah raga) segera menahan Dong Wook. Guru Yoo menyuruh Dong Wook untuk duduk kembali.

Dong Wook mengerutkan dahinya, "Wae (Kenapa)?", nada bicara Dong Wook terdengar tak terima.

Guru Yoo berdehem, ia tak menatap balik Dong Wook. "Biarkan saja. Itu sudah  biasa." Kata Guru Yoo sedikit berbisik.

Dong Wook menggelengkan kepala. Ia heran; kenapa ada guru seperti itu. Melihat salah satu muridnya diperlakukan tidak adil tapi malah dibiarkan saja. "Guru Yoo, apa kau tidak memikirkan perasaan siswi yang di - bully itu?"

Tiba - tiba para murid heboh. Dong Wook pun mengalihkan perhatiannya ke tempat Nana lagi. Ia melihat Nana menampar Si Yeon.

"Kau pikir aku ini apa, huh? Ya! Lee Si Yeon. Aku tidak takut padamu! Meskipun ayahmu donatur di yayasan Wang Guk." Kata Nana tegas dengan tatapan tajam menusuk pada Si Yeon.

Mendengar hal tersebut, mata Dong Wook membulat. Jadi, Guru Yoo melarangnya membela Nana hanya karena Ayah Si Yeon adalah donatur di Yayasan Wang Guk.

"Ya!" Bentak Si Yeon sambil mendorong Nana cukup kasar. Tapi, Nana tidak goyah apalagi sampai jatuh. Nana cukup kuat menahan dirinya. Tatapan mata Nana semakin tajam.

Dong Wook sudah tidak tahan melihat pemandangan nista itu. Ia pun menghampiri Nana dan Si Yeon tanpa menggubris Guru Yoo yang terus memanggilnya. Guru Yoo mengacak rambutnya; frustasi karena guru baru itu akan membuat masalah di sekolah.
"Hentikan. Ini jam makan siang, kenapa kalian malah bertengkar seperti ini? Kalian itu teman sekelas." Dong Wook menceramahi.

Si Yeon melempar tatapan sengit pada Dong Wook. "Menyebalkan. Guru Cha, dia sudah menggaguku tadi." Sahut Si Yeon dengan suara lantang sambil mengacungkan jari telunjuk pada Nana.

Dong Wook tersenyum kecil dan menggeleng pelan. "Tidak." Jawab Dong Wook disertai raut wajah yang tegas. "Aku melihat kau yang mengganggu Nana duluan."

Si Yeon terkekeh pelan, "Aaa... Nana punya pahlawan baru sekarang.." Kata Si Yeon sambil menatap jijik pada Nana.

Si Yeon menyilangkan kedua tangannya di dada, "Guru Cha tidak tahu siapa aku?"

Dong Wook melempar senyuman singkat pada Si Yeon. "Aku tahu. Ayahmu donatur di yayasan." Sahut Dong Wook santai.

Nana yang merasa muak pun memilih pergi. Lagi - lagi ia harus dengar Si Yeon memamerkan posisi ayahnya. Memang apa bagusnya menjadi donatur? – batin Nana. Biasa saja. Bagi Nana itu bukanlah hal yang hebat. Nana sangat yakin kalau Ayah Si Yeon menjadi donatur itu pasti terpaksa; agar Si Yeon dihormati di sekolah.

Dong Wook terdiam melihat Nana pergi. Ia sengaja tidak mengejar Nana. Urusannya dengan Si Yeon belum selesai. "Jadi, kenapa kau seperti ini? Si Yeon-ah, Bapak tahu kau ini anak yang baik."

Si Yeon memutar bola matanya, ia menghela napas panjang. "Ji Ri, kau sudah mengambil gambarnya tadi?" Tanya Si Yeon pada Ji Ri yang berdiri tidak jauh di belakangnya.

Dong Wook terdiam. Ia baru sadar kalau sejak tadi murid - muridnya merekam pertengkaran Nana dan Si Yeon. Perasaan Dong Wook mendadak tidak enak. Pasti Si Yeon sudah merencanakan sesuatu yang jahat pada Nana – pikir Dong Wook.

Ji Ri mengiyakan pertanyaan Si Yeon barusan. Senyum miring andalan Si Yeon pun muncul. "Guru Cha, kami permisi dulu." Kata Si Yeon disertai seringaian kecil. Si Yeon dan ekornya (pengikut Si Yeon) pun pergi dari kantin.

Dong Wook berkacak pinggang sambil menghela napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Keadaan SMA Wang Guk ternyata menyeramkan. Dong Wook segera teringat akan Nana. Ia pun beranjak dari kantin; mencari Nana.

Di atap sekolah, Nana menyendiri. Angin panas sepoi - sepoi menerpa rambut panjangnya. Ia menghela napas berkali - kali. Dadanya terasa sesak; hatinya begitu sakit. Ia merindukan Indonesia, ia ingin pulang ke negara asal. Ia yakin, di Indonesia ia tidak akan merasakan perbedaan ras seperti ini.

Kedua mata Nana mulai basah, memerah. Akhirnya, tetes demi tetes air mata mengalir dipipi tirus Nana. Tangisnya pun pecah. Ia menangis tersedu – sedan hingga berlutut.

Dong Wook muncul dari balik pintu di atap. Dong Wook melihat Nana menangis tersedu - sedan sambil berlutut. Dong Wook berjalan pelan - pelan mendekati Nana.
"Nana..." Panggil Dong Wook; ia ikut berlutut, di depan Nana.

Nana menundukkan kepalanya. Tangisannya makin terlihat menyedihkan. Dong Wook yang tidak tega pun membelai rambut Nana dengan lembut. "Gwaencahana (Tidak apa - apa). Menangislah sampai kau lega." Kata Dong Wook; suaranya yang lembut sedikit membuat Nana merasa tenang.

Bersambung...