Cha Dong Wook. Ia
melangkah pasti di sepanjang koridor sekolah. Tangan kanannya membawa dua buku
besar berjudul ‘Matematika’ dan sebuah tas selempang dibahu kirinya. Wajah
tampan Dong Wook tampak berseri – seri; karena hari ini adalah hari pertamanya
resmi menjadi seorang guru. Usaha dan penantian panjang yang ia lalui, kini
membuahkan hasil.
Dong Wook diterima
menjadi guru matematika di sekolah menengah atas yang sangat terkenal. Sekolah
tersebut kondang dengan kualitas dan fasilitas belajar mengajarnya. Bahkan,
sekolah tempat Dong Wook bekerja saat ini, telah mendapatkan penghargaan
berkali – kali karena memiliki siswa dan siswi yang berprestasi hingga ke
kancah internasional.
Dua sudut bibir Dong
Wook naik ke atas. Kelas 2 -3. Di kelas inilah selain ia menjadi guru
matematika, ia juga akan menjadi wali kelas. Di dalam kelas, sudah ada Kepala
Sekolah. Melihat Dong Wook sudah datang pun, Bapak Kepala Sekolah
mempersilahkan Dong Wook untuk masuk ke dalam kelas.
Semua mata siswa
terpana pada Dong Wook. Baru kali ini
mereka melihat guru ‘bersinar’ di sekolah mereka setelah setahun lebih
tiga bulan mereka menuntut ilmu di SMA Wang Guk. Tapi, ada satu siswi yang
tampak cuek – bahkan tidak menggubris kehadiran Dong Wook. Nana – dia terlalu
sibuk dengan sketchbook – nya.
“Anak – anak,
perkenalkan, ini wali kelas baru kalian.” Kata Pak Kepala Sekolah sambil
menepuk pelan bahu Dong Wook. (Dong Wook
berdiri di samping Kepala Sekolah).
“Huwaaaaa!” Seru para siswa; heboh.
Dong Wook tersenyum
kecil. “Perkenalkan. Saya Cha Dong Wook. Saya mengajar pelajaran matematika,
dan Saya juga menjadi wali kelas kalian.” Ucapnya percaya diri.
“Huwaaaaa!” Para siswa berseru heboh lagi.
Bapak Kepala Sekolah
mengetuk mimbar di dekatnya. “Ssssttt.. Kalian jangan heboh seperti itu.” Kata
si Kepala Sekolah meminta para muridnya untuk tenang.
Seorang murid laki –
laki mengangkat tangan, “Sir, how old are
you?” tanyanya dengan logat ‘sok’ inggris; membuat siswa yang lainnya pun
menyorakinya.
Dong Wook terkekeh, “Twenty five years old.”
Para siswa kembali
heboh. Ekspresi mereka sukses membuat Dong Wook tertawa dalam hati; mata mereka
membulat dan mulut mereka membentuk huruf ‘o’. Biasanya, jika salah satu dari
mereka bertanya pada guru mereka (yang dulu) dengan bahasa inggris, guru itu
cukup kesulitan menjawab. Maklum. Guru mereka yang dulu kurang modern, --
kurang lancar berbahasa inggris -- untuk mengajar siswa menengah atas yang
sekolahnya berstandar internasional.
“Ya sudah. Pak Dong
Wook, Saya tinggal dulu. Semoga Anda bisa nyaman mengajar di sekolah ini. Saya
permisi.” Kata Pak Kepala Sekolah sedikit berbisik. Lalu, ia mengacungkan
telunjuk untuk semua siswa. “Jangan gaduh!” Pak Kepala Sekolah mengingatkan.
“Nde. (Baik)” Jawab para siswa serentak.
Dong Wook meletakkan
tasnya di kursi guru yang telah disediakan di dalam kelas. Lalu, ia meletakkan
buku yang dibawanya tadi di atas mimbar.
“Pagi anak – anak.”
Kata Dong Wook masih dengan mood yang
ceria.
“Pagi Pak.” Jawab para
murid.
“Sudah sampai dimana
materi yang kalian pelajari?” Tanya Dong Wook sambil memperhatikan para murid
satu – persatu. Pandangan Dong Wook pun akhirnya berhenti pada seorang siswi
yang duduk di belakang pojok sebelah kanan. Siswi itu tampak tidak menghiraukan
kalau sudah ada guru di dalam kelas. Dari kejauhan, Dong Wook melihat kalau
‘siswi’ itu hanya sibuk menggambar.
Dong Wook berdehem.
Tetap tidak ada respon dari ‘siswi’ itu. Dong Wook pun membiarkannya. Ia tidak
ingin mood – nya mendadak jelek hanya
karena satu murid yang menyebalkan.
“Statistika Pak.” Kata
seorang siswi yang duduk tepat di depan Dong Wook.
“Oh.. Baiklah.. Apa
kalian sudah paham tentang statistika?” Tanya Dong Wook.
Para siswa menjawab,
“Belum”, secara serentak. Dong Wook mengangguk – angguk mengerti.
Dong Wook pun mengambil
tiga buah spidol dengan warna berbeda; hitam, merah, dan biru. Ia mulai
menuliskan beberapa rumus penting dan grafik.
“Sir, kenapa tidak pakai proyektor saja?” Tanya salah seorang murid
yang duduk di bangku nomor dua dari belakang.
Dong Wook berhenti
menulis. Ia melempar senyuman manis pada murid itu. “Matematika tidak cocok
dengan proyektor. Kalian akan sulit untuk cepat paham kalau aku menggunakan
proyektor.” Ucap Dong Wook menjelaskan dengan lembut.
Dong Wook kembali
melanjutkan tulisannya dipapan tulis. Beberapa menit berlalu, ia pun selesai.
Dong Wook mengetukkan spidol ke mimbar; meminta perhatian para siswanya yang
tengah sibuk mencatat.
“Aku minta perhatian
kalian dulu. Menulisnya nanti saja, akan kuberi waktu.” Kata Dong Wook.
Para siswa pun
meletakkan alat tulis mereka. Dirasa perhatian sudah tertuju padanya, Dong Wook
pun mulai menjelaskan. Ia menjelaskan dasar – dasar statistika. Lalu,
menjelaskan tentang statistik lima serangkai, tendensi sentral, jangkauan,
distribusi frekuensi kumulatif, cara membuat grafik histogram dan polygon.
Dong Wook menjelaskan
secara rinci tapi tetap mudah dimengerti. Materi yang ia tulis dipapan tulis
pun tidak terlihat ribet atau memusingkan siswa; materinya ia kemas secara
singkat, padat, tanpa mengurangi esensi dari materi itu sendiri. Selesai dengan
menjelaskan, Dong Wook pun mempersilahkan murid – muridnya untuk kembali
mencatat.
Dong Wook berjalan –
jalan di dalam kelas; melewati setiap siswa sambil memantau cara siswa mencatat
materinya. Sesekali Dong Wook berhenti ke tempat murid yang masih kurang jelas
atau catatannya menurut Dong Wook masih berantakan. Karena kalau catatan
matematika saja sudah berantakan, hafalannya pun juga akan jadi berantakan.
Langkah Dong Wook pun
terhenti di tempat Nana. Dong Wook heran karena Nana sama sekali tidak merasa takut
atau – setidaknya – menghormati Dong Wook sebagai gurunya. Dong Wook hanya diam
dan berdiri di belakang Nana; ia memperhatikan betul sesuatu yang tengah
digambar oleh Nana. Sebuah pohon dengan ranting bercabang – cabang begitu
banyak. Dong Wook termangu; ia mulai paham sikap Nana yang hanya diam saja
sejak tadi.
Dong Wook melihat buku
matematika yang tergeletak di bawah meja. Mungkin jatuh --- pikir Dong Wook. Ia
mengambil buku tersebut dan membaca nama yang tertera disampul buku. Nana.
Tidak ada marga? --- batin Dong Wook. Ia membuka lembar demi lembar buku
catatan tersebut. Ternyata catatan Nana sangat lengkap; bahkan materi yang
belum Dong Wook ajarkan sudah ada di dalam buku catatan Nana.
Dong Wook meletakkan
buku catatan Nana ke atas gambar Nana; membuat Nana berhenti menggambar. Nana
tampak beku beberapa detik, kemudian ia menengadah; melihat orang yang
meletakkan buku catatan di atas gambarnya.
Dong Wook tersenyum,
“Kau pintar. Catatanmu lengkap. Tapi, bisakah kau berhenti menggambar sampai
pelajaranku selesai? Kalau kau bosan menunggu temanmu yang masih mencatat, kau
bisa membaca buku materi atau mengerjakan soal – soal.” Kata Dong Wook lembut.
Nana cukup luluh. Ia
menutup sketchbook – nya, dan
meletakkannya ke dalam laci. Kemudian, ia membuka buku berisi soal – soal
matematika. Nana akan mulai mengerjakan, tapi ia mendadak berhenti. Ia menatap
Dong Wook lagi, “Sir, boleh aku
keluar saja?”
Dong Wook tertegun.
“Baiklah.” Ia tetap mengizinkan Nana keluar. Dong Wook mengerti perasaan Nana
sedang kacau sekarang. Dong Wook tahu hal itu dari gambar pohon Nana tadi.
Nana berdiri dan
membungkuk hormat. Ia pun segera keluar dari kelas. Para murid kaget karena
Dong Wook membiarkan Nana keluar begitu saja.
“Kalian kembali
mencatat.” Tegas Dong Wook; sadar kalau para murid kaget melihat Nana keluar
dari kelas.
Dong Wook kembali
berjalan ke depan kelas. Ia menghela napas panjang sampai dua kali. Hari
pertama ia mengajar, ia sudah menemukan murid yang bermasalah. Hidupnya di SMA
Wang Guk sepertinya tidak akan mudah.
Bersambung...