Sabtu, 31 Oktober 2015

17:25 - 1

Cha Dong Wook. Ia melangkah pasti di sepanjang koridor sekolah. Tangan kanannya membawa dua buku besar berjudul ‘Matematika’ dan sebuah tas selempang dibahu kirinya. Wajah tampan Dong Wook tampak berseri – seri; karena hari ini adalah hari pertamanya resmi menjadi seorang guru. Usaha dan penantian panjang yang ia lalui, kini membuahkan hasil.
Dong Wook diterima menjadi guru matematika di sekolah menengah atas yang sangat terkenal. Sekolah tersebut kondang dengan kualitas dan fasilitas belajar mengajarnya. Bahkan, sekolah tempat Dong Wook bekerja saat ini, telah mendapatkan penghargaan berkali – kali karena memiliki siswa dan siswi yang berprestasi hingga ke kancah internasional.

Dua sudut bibir Dong Wook naik ke atas. Kelas 2 -3. Di kelas inilah selain ia menjadi guru matematika, ia juga akan menjadi wali kelas. Di dalam kelas, sudah ada Kepala Sekolah. Melihat Dong Wook sudah datang pun, Bapak Kepala Sekolah mempersilahkan Dong Wook untuk masuk ke dalam kelas.

Semua mata siswa terpana pada Dong Wook. Baru kali ini  mereka melihat guru ‘bersinar’ di sekolah mereka setelah setahun lebih tiga bulan mereka menuntut ilmu di SMA Wang Guk. Tapi, ada satu siswi yang tampak cuek – bahkan tidak menggubris kehadiran Dong Wook. Nana – dia terlalu sibuk dengan sketchbook – nya.

“Anak – anak, perkenalkan, ini wali kelas baru kalian.” Kata Pak Kepala Sekolah sambil menepuk pelan bahu Dong Wook. (Dong Wook berdiri di samping Kepala Sekolah).

Huwaaaaa!” Seru para siswa; heboh.

Dong Wook tersenyum kecil. “Perkenalkan. Saya Cha Dong Wook. Saya mengajar pelajaran matematika, dan Saya juga menjadi wali kelas kalian.” Ucapnya percaya diri.

Huwaaaaa!” Para siswa berseru heboh lagi.

Bapak Kepala Sekolah mengetuk mimbar di dekatnya. “Ssssttt.. Kalian jangan heboh seperti itu.” Kata si Kepala Sekolah meminta para muridnya untuk tenang.

Seorang murid laki – laki mengangkat tangan, “Sir, how old are you?” tanyanya dengan logat ‘sok’ inggris; membuat siswa yang lainnya pun menyorakinya.

Dong Wook terkekeh, “Twenty five years old.”

Para siswa kembali heboh. Ekspresi mereka sukses membuat Dong Wook tertawa dalam hati; mata mereka membulat dan mulut mereka membentuk huruf ‘o’. Biasanya, jika salah satu dari mereka bertanya pada guru mereka (yang dulu) dengan bahasa inggris, guru itu cukup kesulitan menjawab. Maklum. Guru mereka yang dulu kurang modern, -- kurang lancar berbahasa inggris -- untuk mengajar siswa menengah atas yang sekolahnya berstandar internasional.

“Ya sudah. Pak Dong Wook, Saya tinggal dulu. Semoga Anda bisa nyaman mengajar di sekolah ini. Saya permisi.” Kata Pak Kepala Sekolah sedikit berbisik. Lalu, ia mengacungkan telunjuk untuk semua siswa. “Jangan gaduh!” Pak Kepala Sekolah mengingatkan.

Nde. (Baik)” Jawab para siswa serentak.

Dong Wook meletakkan tasnya di kursi guru yang telah disediakan di dalam kelas. Lalu, ia meletakkan buku yang dibawanya tadi di atas mimbar.

“Pagi anak – anak.” Kata Dong Wook masih dengan mood yang ceria.

“Pagi Pak.” Jawab para murid.

“Sudah sampai dimana materi yang kalian pelajari?” Tanya Dong Wook sambil memperhatikan para murid satu – persatu. Pandangan Dong Wook pun akhirnya berhenti pada seorang siswi yang duduk di belakang pojok sebelah kanan. Siswi itu tampak tidak menghiraukan kalau sudah ada guru di dalam kelas. Dari kejauhan, Dong Wook melihat kalau ‘siswi’ itu hanya sibuk menggambar.

Dong Wook berdehem. Tetap tidak ada respon dari ‘siswi’ itu. Dong Wook pun membiarkannya. Ia tidak ingin mood – nya mendadak jelek hanya karena satu murid yang menyebalkan.

“Statistika Pak.” Kata seorang siswi yang duduk tepat di depan Dong Wook.

“Oh.. Baiklah.. Apa kalian sudah paham tentang statistika?” Tanya Dong Wook.

Para siswa menjawab, “Belum”, secara serentak. Dong Wook mengangguk – angguk mengerti.

Dong Wook pun mengambil tiga buah spidol dengan warna berbeda; hitam, merah, dan biru. Ia mulai menuliskan beberapa rumus penting dan grafik.

Sir, kenapa tidak pakai proyektor saja?” Tanya salah seorang murid yang duduk di bangku nomor dua dari belakang.

Dong Wook berhenti menulis. Ia melempar senyuman manis pada murid itu. “Matematika tidak cocok dengan proyektor. Kalian akan sulit untuk cepat paham kalau aku menggunakan proyektor.” Ucap Dong Wook menjelaskan dengan lembut.

Dong Wook kembali melanjutkan tulisannya dipapan tulis. Beberapa menit berlalu, ia pun selesai. Dong Wook mengetukkan spidol ke mimbar; meminta perhatian para siswanya yang tengah sibuk mencatat.

“Aku minta perhatian kalian dulu. Menulisnya nanti saja, akan kuberi waktu.” Kata Dong Wook.

Para siswa pun meletakkan alat tulis mereka. Dirasa perhatian sudah tertuju padanya, Dong Wook pun mulai menjelaskan. Ia menjelaskan dasar – dasar statistika. Lalu, menjelaskan tentang statistik lima serangkai, tendensi sentral, jangkauan, distribusi frekuensi kumulatif, cara membuat grafik histogram dan polygon.

Dong Wook menjelaskan secara rinci tapi tetap mudah dimengerti. Materi yang ia tulis dipapan tulis pun tidak terlihat ribet atau memusingkan siswa; materinya ia kemas secara singkat, padat, tanpa mengurangi esensi dari materi itu sendiri. Selesai dengan menjelaskan, Dong Wook pun mempersilahkan murid – muridnya untuk kembali mencatat.

Dong Wook berjalan – jalan di dalam kelas; melewati setiap siswa sambil memantau cara siswa mencatat materinya. Sesekali Dong Wook berhenti ke tempat murid yang masih kurang jelas atau catatannya menurut Dong Wook masih berantakan. Karena kalau catatan matematika saja sudah berantakan, hafalannya pun juga akan jadi berantakan.

Langkah Dong Wook pun terhenti di tempat Nana. Dong Wook heran karena Nana sama sekali tidak merasa takut atau – setidaknya – menghormati Dong Wook sebagai gurunya. Dong Wook hanya diam dan berdiri di belakang Nana; ia memperhatikan betul sesuatu yang tengah digambar oleh Nana. Sebuah pohon dengan ranting bercabang – cabang begitu banyak. Dong Wook termangu; ia mulai paham sikap Nana yang hanya diam saja sejak tadi.

Dong Wook melihat buku matematika yang tergeletak di bawah meja. Mungkin jatuh --- pikir Dong Wook. Ia mengambil buku tersebut dan membaca nama yang tertera disampul buku. Nana. Tidak ada marga? --- batin Dong Wook. Ia membuka lembar demi lembar buku catatan tersebut. Ternyata catatan Nana sangat lengkap; bahkan materi yang belum Dong Wook ajarkan sudah ada di dalam buku catatan Nana.

Dong Wook meletakkan buku catatan Nana ke atas gambar Nana; membuat Nana berhenti menggambar. Nana tampak beku beberapa detik, kemudian ia menengadah; melihat orang yang meletakkan buku catatan di atas gambarnya.

Dong Wook tersenyum, “Kau pintar. Catatanmu lengkap. Tapi, bisakah kau berhenti menggambar sampai pelajaranku selesai? Kalau kau bosan menunggu temanmu yang masih mencatat, kau bisa membaca buku materi atau mengerjakan soal – soal.” Kata Dong Wook lembut.

Nana cukup luluh. Ia menutup sketchbook – nya, dan meletakkannya ke dalam laci. Kemudian, ia membuka buku berisi soal – soal matematika. Nana akan mulai mengerjakan, tapi ia mendadak berhenti. Ia menatap Dong Wook lagi, “Sir, boleh aku keluar saja?”

Dong Wook tertegun. “Baiklah.” Ia tetap mengizinkan Nana keluar. Dong Wook mengerti perasaan Nana sedang kacau sekarang. Dong Wook tahu hal itu dari gambar pohon Nana tadi.

Nana berdiri dan membungkuk hormat. Ia pun segera keluar dari kelas. Para murid kaget karena Dong Wook membiarkan Nana keluar begitu saja.

“Kalian kembali mencatat.” Tegas Dong Wook; sadar kalau para murid kaget melihat Nana keluar dari kelas.

Dong Wook kembali berjalan ke depan kelas. Ia menghela napas panjang sampai dua kali. Hari pertama ia mengajar, ia sudah menemukan murid yang bermasalah. Hidupnya di SMA Wang Guk sepertinya tidak akan mudah.

Bersambung...