Namaku Nana. Asli
keturunan Indonesia. Tapi, sudah enam tahun ini aku tinggal di Korea Selatan.
Selama setahun penuh aku belajar bahasa korea tingkat lanjut (sebelumnya aku
cukup menguasai bahasa korea), baru setelah itu aku masuk ke sekolah. Kehidupan
sekolah menengah pertamaku di Korea, cukup biasa – biasa saja. Tidak ada yang
menarik bagiku. Karena selama tiga tahun di sekolah menengah pertama, aku tidak
pernah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apa pun. Bahkan aku tidak pernah ikut
lomba, meskipun guru menunjukku.
Lalu, aku masuk ke
sekolah menengah akhir. Lagi – lagi, aku tidak mengikuti kegiatan apa pun di
sekolah selain belajar. Aku; masuk dan
pulang sekolah sesuai dengan jadwal pelajaran. Aku tidak pernah punya niat
untuk mencari teman di sini.
Kebanyakan anak remaja
di Indonesia menginginkan untuk pergi ke Korea Selatan. Mereka pikir hidup di
negeri ginseng ini nyaman. Tapi, aku tidak merasakan apa yang dibayangkan oleh
kebanyakan remaja itu. Aku benci dengan
kehidupanku di sini. Aku muak.
Bullying, cacian, dan
makian sering kali aku dengar dari mulut teman sekelasku sendiri. Bukan! Tidak!
Mereka bukan teman sekelasku. Mereka semua musuhku! Tidak ada yang namanya
teman! Mereka semua jahat! Aku tidak pernah dianggap manusia oleh mereka hanya
karena aku berbeda dengan mereka.
“Ya! Kenapa kau harus
bersekolah di sini? Menyebalkan!” Seru seorang gadis sambil menempeleng
kepalaku dengan kasar. Hal seperti ini sudah sangat lazim dia lakukan padaku.
Tanpa rasa bersalah sedikit pun. Sebenarnya, aku bisa saja membalas
perbuatannya.
“Aku masih tidak
menyangka kalau dia model di S Entertainment.” Gumam gadis yang lain. Aku bisa
mendengarnya, karena tempat duduknya dan tempat dudukku hanya selisih satu
meter.
“Kudengar Ibunya
bekerja sebagai staff disana.” Gumam gadis yang satunya. Benar, ibuku memang
staff di sana. Staff penting; tanpa ibuku, Square Entertainmet atau biasa
dipanggil S Entertainment tidak akan sukses seperti sekarang.
“Ouh, dia menjadi model
di sana karena pertolongan Ibunya. Memangnya sehebat apa ibunya sampai dia bisa
menjadi model disana. Wajahnya tidak begitu cantik.” Kini yang berbicara adalah
gadis yang tadi sempat menempeleng kepalaku. Ck. Apa dia lupa kalau
kecantikannya itu palsu? Padahal kelihatan sekali kalau dia operasi plastik sampai
lima kali. Aku bisa tahu hal ini karena dokter yang mengoperasinya adalah
dokter di S Entertainment.
“Memalukan sekali
hidupnya! Aku tidak sudi menjadi penggemarnya!” Sahut gadis yang lain lagi. Aku
juga tidak butuh dukunganmu. Kau tidak punya keahlian apa – apa; sudah sangat
sombong. Aku berani taruhan, kalau dia itu tidak punya talenta apapun. Jelas,
aku masih bagus dibandingkan mereka. Aku masih bisa bermain piano dan gitar.
“Ku dengar, dia tidak
punya ayah.”
Oh, aku benci kalimat
itu. Sungguh. Telingaku sudah cukup panas mendengar kata – kata pedas yang
keluar dari mulut mereka. Tanganku sudah cukup lama mengepal di dalam laci
meja. Aku tidak sanggup lagi menahannya. Aku beranjak dari tempat dudukku, dan
tanpa ampun aku menampar pipi si gadis yang baru saja mengeluarkan kalimat itu.
“Ya!” Bentak gadis itu
padaku. Aku menatap tajam kedua matanya.
“Beraninya kau!” Dia
pun akan melayangkan tamparannya, tapi segera kutahan. Dia memberontak. Dia
menatapku kesal. Sangat kesal. Teman – temannya hanya diam; melihat kami.
Mereka lebih senang melihat kami bertengkar ketimbang membantu temannya itu.
“Oh.. Jadi kau ini
benar – benar anak haram?” Tanya gadis di depanku ini.
Aku segera melepas
tangannya dengan kasar. “Jaga ucapanmu!” Aku membentak.
Gadis di depanku ini
tersenyum miring. Dia menyibakkan rambut panjangnya ke belakang. Si Yeon – nama
gadis di depanku; aku baru tahu namanya setelah melihat plat nama didadanya.
“Kenapa? Kau tidak
terima? Benarkan kalau kau ini anak haram?” Kata Si Yeon, suaranya terdengar
sangat tajam hingga rasanya telingaku seperti akan berdarah.
Aku tersenyum kecil.
“Kau terlihat sangat menyedihkan.” Ucapku akan beranjak keluar kelas. Aku muak
berada di sekolah ini. Ibu bilang sekolah ini sangat bagus, tapi kenapa
kelakuan murid – muridnya --- tepatnya Si Yeon dan kawan – kawan --- seperti
binatang. Memang tidak semuanya, tapi tetap saja aku membenci mereka.
Si Yeon menjambak
rambut panjangku. Dengan kejamnya, ia menjambak hingga rasanya rambutku mau
rontok semua. Anak – anak sekelas bersorak – sorai mendukung Si Yeon. “Kau
bilang apa tadi?” Tanya Si Yeon sambil menjambak rambutku lebih menyakitkan
lagi.
Aku meringis kesakitan.
“Kau menyedihkan!” Sahutku tanpa ada rasa takut. Si Yeon pun melepas
jambakannya dari rambutku dan mendorongku hingga aku tersungkur ke lantai.
“Jaga ucapanmu!”
Bentaknya lalu menendang kakiku. Kedua temannya mengikuti Si Yeon; tak lupa
mereka juga menendang kakiku.
“Kenapa kau harus
hidup.” Gumam salah satu dari mereka saat melewatiku. Seandainya aku bisa menjawab
itu. Aku juga bertanya – tanya, kenapa aku harus hidup disini. Kenapa aku tidak
hidup di Indonesia saja. Kenapa aku tidak bisa melihat ayahku lagi. Kenapa Ibu
sangat mudah marah padaku untuk hal – hal yang sepele. Kenapa aku tidak hidup
dengan nenek lagi. Kenapa aku harus menjadi model di S Entertainment. Kenapa
aku harus bersekolah di sekolah ‘yang katanya’ bagus ini. Sebenarnya, semua itu
ingin kutanyakan. Tapi, aku tidak tahu harus bertanya pada siapa.
Aku mencoba berdiri
dari tempatku tersungkur. Aku merapikan seragamku sambil mencuri pandang ke
arah anak – anak di kelas. Mereka bersikap cuek lagi; seolah – olah tidak
terjadi apa – apa. Mereka sengaja menutup mata dan telinga mereka.
Aku pun keluar dari
kelas. Kedua mataku menatap lurus ke depan; tatapanku kosong. Aku tidak punya
siapa – siapa di dunia ini. Bahkan Ibuku sendiri tidak terlihat seperti seorang
ibu. Ibu terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku tidak punya teman. Aku tidak
punya orang yang menyayangiku. Aku hanya sendirian.
Bersambung...
Bersambung...