Sabtu, 31 Oktober 2015

17:25 - 0

Namaku Nana. Asli keturunan Indonesia. Tapi, sudah enam tahun ini aku tinggal di Korea Selatan. Selama setahun penuh aku belajar bahasa korea tingkat lanjut (sebelumnya aku cukup menguasai bahasa korea), baru setelah itu aku masuk ke sekolah. Kehidupan sekolah menengah pertamaku di Korea, cukup biasa – biasa saja. Tidak ada yang menarik bagiku. Karena selama tiga tahun di sekolah menengah pertama, aku tidak pernah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apa pun. Bahkan aku tidak pernah ikut lomba, meskipun guru menunjukku.
Lalu, aku masuk ke sekolah menengah akhir. Lagi – lagi, aku tidak mengikuti kegiatan apa pun di sekolah selain belajar.  Aku; masuk dan pulang sekolah sesuai dengan jadwal pelajaran. Aku tidak pernah punya niat untuk mencari teman di sini.

Kebanyakan anak remaja di Indonesia menginginkan untuk pergi ke Korea Selatan. Mereka pikir hidup di negeri ginseng ini nyaman. Tapi, aku tidak merasakan apa yang dibayangkan oleh kebanyakan remaja itu.  Aku benci dengan kehidupanku di sini. Aku muak.

Bullying, cacian, dan makian sering kali aku dengar dari mulut teman sekelasku sendiri. Bukan! Tidak! Mereka bukan teman sekelasku. Mereka semua musuhku! Tidak ada yang namanya teman! Mereka semua jahat! Aku tidak pernah dianggap manusia oleh mereka hanya karena aku berbeda dengan mereka.

“Ya! Kenapa kau harus bersekolah di sini? Menyebalkan!” Seru seorang gadis sambil menempeleng kepalaku dengan kasar. Hal seperti ini sudah sangat lazim dia lakukan padaku. Tanpa rasa bersalah sedikit pun. Sebenarnya, aku bisa saja membalas perbuatannya.

“Aku masih tidak menyangka kalau dia model di S Entertainment.” Gumam gadis yang lain. Aku bisa mendengarnya, karena tempat duduknya dan tempat dudukku hanya selisih satu meter.

“Kudengar Ibunya bekerja sebagai staff disana.” Gumam gadis yang satunya. Benar, ibuku memang staff di sana. Staff penting; tanpa ibuku, Square Entertainmet atau biasa dipanggil S Entertainment tidak akan sukses seperti sekarang.

“Ouh, dia menjadi model di sana karena pertolongan Ibunya. Memangnya sehebat apa ibunya sampai dia bisa menjadi model disana. Wajahnya tidak begitu cantik.” Kini yang berbicara adalah gadis yang tadi sempat menempeleng kepalaku. Ck. Apa dia lupa kalau kecantikannya itu palsu? Padahal kelihatan sekali kalau dia operasi plastik sampai lima kali. Aku bisa tahu hal ini karena dokter yang mengoperasinya adalah dokter di S Entertainment.

“Memalukan sekali hidupnya! Aku tidak sudi menjadi penggemarnya!” Sahut gadis yang lain lagi. Aku juga tidak butuh dukunganmu. Kau tidak punya keahlian apa – apa; sudah sangat sombong. Aku berani taruhan, kalau dia itu tidak punya talenta apapun. Jelas, aku masih bagus dibandingkan mereka. Aku masih bisa bermain piano dan gitar.

“Ku dengar, dia tidak punya ayah.”

Oh, aku benci kalimat itu. Sungguh. Telingaku sudah cukup panas mendengar kata – kata pedas yang keluar dari mulut mereka. Tanganku sudah cukup lama mengepal di dalam laci meja. Aku tidak sanggup lagi menahannya. Aku beranjak dari tempat dudukku, dan tanpa ampun aku menampar pipi si gadis yang baru saja mengeluarkan kalimat itu.

“Ya!” Bentak gadis itu padaku. Aku menatap tajam kedua matanya.

“Beraninya kau!” Dia pun akan melayangkan tamparannya, tapi segera kutahan. Dia memberontak. Dia menatapku kesal. Sangat kesal. Teman – temannya hanya diam; melihat kami. Mereka lebih senang melihat kami bertengkar ketimbang membantu temannya itu.

“Oh.. Jadi kau ini benar – benar anak haram?” Tanya gadis di depanku ini.

Aku segera melepas tangannya dengan kasar. “Jaga ucapanmu!” Aku membentak.

Gadis di depanku ini tersenyum miring. Dia menyibakkan rambut panjangnya ke belakang. Si Yeon – nama gadis di depanku; aku baru tahu namanya setelah melihat plat nama didadanya.

“Kenapa? Kau tidak terima? Benarkan kalau kau ini anak haram?” Kata Si Yeon, suaranya terdengar sangat tajam hingga rasanya telingaku seperti akan berdarah.

Aku tersenyum kecil. “Kau terlihat sangat menyedihkan.” Ucapku akan beranjak keluar kelas. Aku muak berada di sekolah ini. Ibu bilang sekolah ini sangat bagus, tapi kenapa kelakuan murid – muridnya --- tepatnya Si Yeon dan kawan – kawan --- seperti binatang. Memang tidak semuanya, tapi tetap saja aku membenci mereka.

Si Yeon menjambak rambut panjangku. Dengan kejamnya, ia menjambak hingga rasanya rambutku mau rontok semua. Anak – anak sekelas bersorak – sorai mendukung Si Yeon. “Kau bilang apa tadi?” Tanya Si Yeon sambil menjambak rambutku lebih menyakitkan lagi.

Aku meringis kesakitan. “Kau menyedihkan!” Sahutku tanpa ada rasa takut. Si Yeon pun melepas jambakannya dari rambutku dan mendorongku hingga aku tersungkur ke lantai.

“Jaga ucapanmu!” Bentaknya lalu menendang kakiku. Kedua temannya mengikuti Si Yeon; tak lupa mereka juga menendang kakiku.

“Kenapa kau harus hidup.” Gumam salah satu dari mereka saat melewatiku. Seandainya aku bisa menjawab itu. Aku juga bertanya – tanya, kenapa aku harus hidup disini. Kenapa aku tidak hidup di Indonesia saja. Kenapa aku tidak bisa melihat ayahku lagi. Kenapa Ibu sangat mudah marah padaku untuk hal – hal yang sepele. Kenapa aku tidak hidup dengan nenek lagi. Kenapa aku harus menjadi model di S Entertainment. Kenapa aku harus bersekolah di sekolah ‘yang katanya’ bagus ini. Sebenarnya, semua itu ingin kutanyakan. Tapi, aku tidak tahu harus bertanya pada siapa.

Aku mencoba berdiri dari tempatku tersungkur. Aku merapikan seragamku sambil mencuri pandang ke arah anak – anak di kelas. Mereka bersikap cuek lagi; seolah – olah tidak terjadi apa – apa. Mereka sengaja menutup mata dan telinga mereka.

Aku pun keluar dari kelas. Kedua mataku menatap lurus ke depan; tatapanku kosong. Aku tidak punya siapa – siapa di dunia ini. Bahkan Ibuku sendiri tidak terlihat seperti seorang ibu. Ibu terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku tidak punya teman. Aku tidak punya orang yang menyayangiku. Aku hanya sendirian.

Bersambung...