Devi
mematikan musik di ponselnya. Sudah sekitar empat jam ia latihan dance; dua jam latihan bersama tim,
sisanya ia berlatih sendiri. Devi duduk dan meneguk air botolnya sampai habis.
Keringat bercucuran dipelipis gadis itu.
Devi
terdiam di depan cermin besar yang memantulkan sosok dirinya. Wajah Devi tampak
sangat lelah. Ia sangat bekerja keras untuk pertandingan dance di DBL minggu depan. Karena Devi adalah center of the group; ia
memperoleh bagian dance paling banyak
dibandingkan anggota yang lain.
Seseorang
masuk ke dalam ruang latihan dance.
Fahmi – pacar Devi – melempar senyum hangat pada Devi. Lelaki itu juga membawa
sebuah plastik berisi kotak nasi dan ayam goreng. Fahmi duduk di samping
gadisnya dan memberikan makan siang yang dibelinya tidak jauh dari tempat
latihan dance Devi.
“Tau
aja kalo Aku lagi laper.” Kata Devi senang sambil membuka kardus berisi nasi
dan ayam goreng tersebut.
Fahmi
mengacak rambut Devi yang dikucir kuda. “Tau – lah. Kamu ngapain sih latihan
sampe siang gini? Temen – temenmu aja udah pulang.”
Devi
mengacungkan lima jarinya sebagai isyarat ‘sebentar’ pada Fahmi. Gadis yang
menjadi leader di club dance sekolah itu masih sibuk
mengunyah ayam dan nasi sampai lembut. Fahmi terkekeh melihat pacarnya sambil
mengangguk – angguk mengerti.
“Aku
kan center – nya Mas. Biar dance sekolah kita menang, makanya aku
juga harus kerja keras.” Kata Devi setelah berhasil menelan makanan dimulutnya.
Lelaki
yang merupakan kakak kelas Devi itu pun tampak tak setuju dengan jawaban Devi.
Fahmi kasihan melihat Devi, karena hanya Devi yang inisiatif bekerja keras.
Dari mulai surat perizinan, surat permohonan dana, sampai masalah kostum pentas
pun semuanya yang mengurus Devi. Sebenarnya, bukan karena teman – teman yang
lain tidak bisa mengurus. Tapi, Devi lebih senang kalau dia yang mengerjakan
sendiri – menurutnya hal itu akan lebih cepat dan efisien waktu.
“Anggota
dance – nya yang anak kelas dua cuma
Aku sama Nadia, Mas. Yang lainnya masih adik kelas. Mereka belum tau soal
perizinan dan lain – lain. Lagian, waktunya udah mepet banget Mas.” Kata Devi
menjelaskan.
Fahmi
membelai kepala Devi lembut sambil menatap kekasihnya itu lekat – lekat. “Makan
yang banyak.”
Devi
meringis hingga memperlihatkan matanya yang tersenyum. Ia kembali melanjutkan
makannya dengan lahap. Latihan dari jam delapan pagi sampai jam dua belas siang
cukup membuat perutnya kelaparan. Bahkan, Devi sudah menghabiskan tiga botol
air minum berukuran 500 mili liter.
Fahmi
mengeluarkan satu pack tisu kering
dan tisu basah dari dalam tas ranselnya. Ia sudah menyiapkan itu semua setiap
membawa makanan untuk Devi. Tak lupa, Fahmi juga mengeluarkan satu botol air
minum dari tasnya. Sudah menjadi hal yang biasa bagi Fahmi kalau tasnya penuh
dengan barang – barang seperti itu. Tas ransel Fahmi adalah kantong ajaib untuk
Devi.
Devi
membersihkan mulutnya dengan tisu kering dan membersihkan tangannya dengan tisu
basah. Tangan Devi tidak begitu kotor karena ia tidak memegang ayam gorengnya
secara langsung. Devi memakan ayam goreng itu dengan bantuan sendok plastik dan kekuatan dari dalam.
“Mas,
aku pengen deh club dance sekolah
kita punya manajer. Jadi, ada yang ngurusin gitu..” Kata Devi sembari membuka
tutup botol air minum.
“Ya
kamu aja yang jadi manajer. Kamu nggak usah nge – dance lagi. Kalo kamu nge – dance
terus, nanti makin banyak yang naksir.” Sahut Fahmi santai; sukses membuat Devi
yang sedang minum pun tersedak.
Devi
batuk – batuk sambil memukul – mukul dadanya. Fahmi hanya tersenyum mengejek
melihat gadis di sampingnya. Ia tidak menolong sama sekali. Karena memang tidak
tahu mau menolong seperti apa. Devi yang kesal pun memukul lengan Fahmi cukup
keras.
“Hahaha.
Gitu aja udah batuk.” Ledek Fahmi disertai tawa bahagia.
“Jahat
banget.” Gerutu Devi sambil membuang muka.
“Hahahaha.”
Fahmi masih tertawa senang – sebenarnya lebih mendekati mengejek.
Devi
tidak menggubris Fahmi. Gadis itu memasukkan botol air minum yang sudah habis
dan kardus makanannya tadi ke dalam plastik. Lalu, ia beranjak mengambil
ponselnya yang berada di atas speaker. Ia memberesi barang – barangnya, lalu
bergegas meninggalkan ruang latihan.
Fahmi
bangkit dari duduknya; menyadari Devi pergi meninggalkannya. Fahmi memanggil –
manggil nama Devi tapi gadis itu tidak menggubris. Devi keluar dari ruang
latihan dan menutup pintunya dengan kasar. Fahmi terkekeh; ia mengejar Devi
hingga bisa menyamai langkah kaki Devi.
“Jangan
marah lah. Mukamu tambah jelek lho.” Fahmi masih meledek sambil mencubit pipi
kanan Devi.
Devi
hanya diam dengan tampang kesal. Langkah kakinya lebar dan cepat. Fahmi masih
bisa mensejajari langkah pacarnya, karena faktor tinggi. Fahmi terus – terusan
membujuk Devi untuk tidak ngambek
padanya.
“Maaf
dek. Maaf. Mas salah. Maaf deh. Mas ngelarang kamu nge – dance ‘kan karena Mas sayang sama kamu dek.” Kata Fahmi sambil
memegang lengan kanan Devi.
Devi
menghentikan langkahnya. Ia menatap Fahmi dengan tatapan kesal. “Mas, ‘kan aku leader.”
Fahmi
tersenyum hangat. Ia menatap kekasihnya itu lekat – lekat sambil memegang kedua
pipi Devi. “Iya aku tau. Aku nggak maksa kamu buat berhenti nge – dance kok. Aku tetep dukung apa yang
kamu mau. Aku cuma bercanda sayang.” Kata Fahmi lembut.
Hati
Devi luluh. Suara Fahmi yang menenangkan dan mata Fahmi yang teduh semacam
heroin khusus milik Devi.
“Hmmm..”
Devi mengangguk dan kedua matanya berkaca – kaca.
Fahmi
tersenyum. Ia mencubit gemas kedua pipi gadisnya, lalu menggandeng tangan Devi.
Ia tidak akan memeluk atau merangkul Devi seperti remaja – remaja pacaran yang
lainnya. Lelaki tampan itu masih tahu agama, masih tahu norma. Ia memiliki
prinsip menghargai seorang wanita, karena yang melahirkannya ke dunia ini
adalah seorang wanita.
Fahmi
dan Devi pun melanjutkan langkah mereka keluar dari gedung tempat latihan dance.
OoooO
Seminggu
kemudian.
Hari
ini pertandingan basket dan dance
antar sekolah dimulai. Fahmi dan teman – teman satu tim berserta pelatih tengah
bersiap – siap karena akan mulai bertanding, begitu pula dengan tim dance Devi. Tim dance Devi akan tampil saat pertandingan tim basket Fahmi sedang break.
Host
acara sudah memanggil nama – nama pemain yang akan bertanding basket. Di dalam
hati, Fahmi terus berdoa untuk timnya agar menang. Selain itu, Fahmi berdoa
untuk menghilangkan kegelisahan yang ia rasakan tiba – tiba. Tidak biasanya ia
gelisah saat akan tanding basket. Tapi – sejak tadi pagi – perasaannya terus –
terusan tidak enak dan memikirkan Devi.
Wasit
melambungkan bola ke atas. Fahmi berhasil mendapat bola, dan pertandingan pun
dimulai. Para suporter berteriak menyemangati tim basket dari sekolahnya masing
– masing. Fahmi berhasil mencetak three
point. Untuk quarter pertama, tim basket Fahmi berada diposisi aman.
Suporter
dari sekolah Fahmi semakin bersemangat. Dilayar score, poin tim basket Fahmi terus bertambah tinggi. Selisih score antara tim basket Fahmi dengan tim
lawan sangat jauh. Devi yang melihat dari kejauhan tersenyum bahagia. Devi
menyatukan kedua telapak tangannya; dalam hati ia berdoa untuk tim basket
sekolahnya agar menang.
Peluit
berbunyi. Pertandingan babak pertama dihentikan dengan perolehan poin tiga
puluh dibanding sepuluh. Pelatih memberikan senyum bahagia pada anak – anak didiknya
karena bisa memperoleh score yang tinggi dibabak pertama. Akan cukup sulit bagi tim lawan untuk mengejar
ketertinggalannya di babak kedua. Fahmi dan teman – temannya duduk sambil meneguk
air botol yang sudah disediakan.
Tim
dance Devi keluar dari persembunyian.
Mereka tampil sangat wah. Fahmi
terkejut melihat penampilan tim dance
Devi. Bukan terkejut dengan dance
mereka; Fahmi sudah tahu kalau dance
mereka akan sangat bagus. Yang membuat Fahmi terkejut adalah kostum dance mereka. Bisa dibilang sangat
terbuka; meskipun kaos yang dikenakan tim dance itu panjang tetapi rok mereka
sangat pendek.
Para
penonton senang melihatnya, tapi tidak dengan Fahmi. Tubuh Devi terlihat sangat
seksi; dengan pakaian yang seperti itu bisa mengundang hal yang tidak
diinginkan. Melihat Devi, perasaan Fahmi makin kalut tak karuan. Jantungnya
berdegup sangat cepat dan ia mengalami keringat dingin.
“Ndre,
minta minum lagi.” Kata Fahmi pada teman yang duduk di sampingnya. Kebetulan,
stok air botol berada tidak jauh dari tempat duduk Andre.
Andre
mengangguk, lalu memberikan botol air minum baru pada Fahmi. Dengan segera,
Fahmi meneguk air botol itu hingga habis dalam sekali tegukan. Ia minum lagi
bermaksud untuk menghilangkan kecemasannya, tapi tetap saja tidak bisa.
“Eh
Fahmi, kenapa kamu tiba – tiba pucet?” Tanya Pak Pelatih saat tanpa sengaja melihat
Fahmi.
Fahmi
menggeleng. “Nggak apa – apa, Pak.” Sahutnya pelan.
“Ya
udah. Istirahat dulu. Kita diskusi strategi lima menit lagi.” Kata Pak Pelatih
sebelum kembali fokus pada ponselnya.
Fahmi
terdiam. Ia mengontrol dirinya sendiri. Ia terus berdoa dalam hati – berharap
tidak akan terjadi hal yang buruk pada tim basketnya atau pun pada Devi.
“Anak
– anak. Kumpul.” Kata Pak Pelatih.
Anak
– anak tim basket pun mendekat pada pelatih, begitu juga dengan Fahmi. Leader tim basket itu berusaha
menghilangkan pikiran – pikiran buruk yang bermunculan dikepalanya. Ia mencoba
fokus pada pengarahan pelatih. Andre, yang berdiri di samping Fahmi, menepuk –
nepuk punggung Fahmi pelan.
“Fokus,
bro.” Kata Andre menyemangati.
Fahmi
tersenyum singkat dan mengangguk pelan. Ia berusaha memusatkan perhatiannya
pada pelatih. Fokus mendengarkan strategi untuk babak kedua.
Penampilan
tim dance Devi pun selesai. Mereka segera kembali ke back stage. Fahmi mencuri pandang – melihat Devi. Tampak sekali
dari sorot mata Fahmi, kalau ia sangat khawatir pada Devi. Setelah Devi
menghilang dari balik pintu, Fahmi kembali fokus mendengarkan pelatih.
OoooO
Setelah
pertandingan tim sekolahnya selesai, Fahmi berlari menuju back
stage mencari kekasihnya. Perasaan lelaki itu sudah tak karuan. Ia sudah
tak tahan lagi. Kalut, gelisah menyelimuti sekujur tubuh lelaki itu. Keringat
dingin membasahi punggung Fahmi. Wajahnya makin tampak pucat, hingga bibirnya
ikut memutih.
Fahmi
masuk ke dalam ruangan tempat para dancer
berkumpul. Ia mencari – cari sosok Devi di sana. Dan hasilnya nihil. Di ruangan
itu hanya ada teman – teman Devi dan tim dance
dari sekolah lain.
“Nad,
Devi kemana?” Tanya Fahmi saat kebetulan Nadia akan keluar dari ruangan.
“Tadi
sih bilangnya ke kamar mandi, Mas.” Sahut Nadia sambil menunjuk ke arah kamar
mandi.
“Sendirian?
Kok nggak kamu temenin?” Tanya Fahmi panik.
“Lho
emang kenapa Mas?” Nadia malah bertanya balik; ia bingung.
Fahmi
tak menjawab. Ia segera berlari menuju kamar mandi. Lokasi kamar mandi dan back stage cukup jauh. Fahmi hafal
bagaimana tata letak gedung pertandingan basket. Sudah sejak SMP, Fahmi
bertanding basket di gedung itu. Ia tahu betul kalau lorong arah ke kamar mandi
itu sangat sepi dan cukup gelap.
Fahmi
khawatir kalau terjadi sesuatu pada Devi. Mengingat pakaian yang dikenakan Devi
cukup terbuka dan seksi, semakin menambah kepanikan lelaki itu. Belum sempat
Fahmi sampai di kamar mandi, ia melihat sosok Devi berjalan sendirian sambil
menangis. Fahmi makin panik. Ia berlari menghampiri Devi.
Fahmi
memegang kedua bahu Devi. “Kamu kenapa?” Tanya Fahmi panik bukan main.
Devi
menundukkan kepalanya dan masih menangis terisak. Kedua tangannya saling berpegangan
erat seperti anak kecil yang sedang ketakutan. Bahkan, kaki kurusnya sampai
bergetar.
“Devi..
Dek, kamu kenapa?” Tanya Fahmi semakin panik melihat Devi yang menangis tersedu - sedan.
“Mas..
aku takut..” Kata Devi tersendat dan gemetaran.
Fahmi
menghapus air mata Devi yang mengalir deras. “Ya udah. Nanti aja ceritanya.
Kita pergi dulu dari sini.” Kata Fahmi lembut.
Fahmi
merangkul bahu Devi, dan membawa Devi menuju parkiran mobil. Fahmi membukakan
pintu untuk Devi, lalu ia juga masuk ke dalam mobil. Fahmi mengambil jaket yang
ada dikursi belakang, dan menutupi kaki kekasihnya dengan jaket tersebut.
Fahmi
mengambil ponselnya dari dalam dasbor. Kemudian, ia mencari nama pelatih
dikontak ponselnya. Setelah ketemu, ia segera menghubungi pelatihnya itu.
“Pak.
Aku harus pulang duluan. Ada urusan mendadak.” Kata Fahmi.
“Oke.”
Sahut si pelatih di telepon.
Fahmi
memutus panggilannya, dan menghubungi seseorang lagi. Ia menghubungi Nadia,
untuk memberi tahu kalau Devi sudah pulang bersamanya. Setelah itu, Fahmi
meletakkan ponselnya di tempat dekat hand
rem mobil.
“Kamu
kenapa dek?” Tanya Fahmi khawatir.
Fahmi
mengambil selembar tisu untuk menghapus air mata kekasihnya. Make up Devi luntur, dan wajah Devi
sangat merah. Fahmi pun mengambil air botol yang ada dikursi belakang, dan
memberikannya pada Devi.
“Minum
dulu. Terus cerita sama aku.” Kata Fahmi sambil memberikan botol minum yang
tutupnya sudah dibuka.
Devi
meminum air botol tersebut. Ia mencoba berhenti menangis dan menghapus air
matanya. Ia menatap Fahmi dengan tatapan sendu. Dan air matanya menetes lagi.
“Hei,
hei, kenapa?” Tanya Fahmi lembut sambil menghapus air mata Devi.
Devi
terdiam. Ia menghirup napas dalam – dalam, lalu mulai mengatakan sesuatu. Ia
menceritakan kalau saat keluar dari kamar mandi ada seorang laki – laki tak dikenal
berlaku jahat padanya. Dengan susah payah, Devi mengatakan kalau ia mengalami
pelecehan seksual.
Fahmi
terkejut mendengar kekasihnya mendapatkan perlakuan keji itu. Hati Fahmi sangat
sakit; jantungnya serasa ditusuk oleh ribuan pisau tajam. Persendian Fahmi
mendadak linu, dan keringat dingin disekujur tubuhnya.
Fahmi
merasakan tubuhnya sangat lemas, tak berdaya. Kekuatannya mendadak hilang. Kedua
lututnya sangat lemas. Matanya pun berair dan memerah. Wajah Fahmi makin pucat,
dan buliran – buliran bening keluar dari pelupuk matanya.
“Dek..”
Panggil Fahmi dengan suara parau.
Tangis
Devi pecah. Ia menangis tersedu – sedan lagi. Bayang – bayang kejadian beberapa
menit yang lalu memenuhi kepalanya. Ia sangat ketakutan.
“Mas..”
Gumam Devi disela isak tangisnya.
Fahmi
ikut menangis. Ia membawa Devi ke dalam dekapannya. Untuk pertama kalinya,
lelaki itu melanggar prinsip yang sudah ia buat. Ia terpaksa memeluk Devi.
Kondisi psikis Devi sangat terguncang saat ini. Tidak ada yang bisa Fahmi
lakukan selain membawa Devi ke dalam dekapannya. Fahmi tidak bisa berpikir
jernih.
Fahmi
membelai lembut kepala kekasihnya. “Udah.. sabar.. Ada Mas disini.. Nggak usah
takut..”
Devi
makin menangis di dalam dekapan Fahmi. Ia memegang baju Fahmi erat – erat
saking takutnya.
“Udah
sayang.. udah..” Kata Fahmi menenangkan dan masih membelai kepala Devi dengan
lembut.
Bersambung...