Senin, 02 November 2015

Berubah - 1

Devi mematikan musik di ponselnya. Sudah sekitar empat jam ia latihan dance; dua jam latihan bersama tim, sisanya ia berlatih sendiri. Devi duduk dan meneguk air botolnya sampai habis. Keringat bercucuran dipelipis gadis itu.

Devi terdiam di depan cermin besar yang memantulkan sosok dirinya. Wajah Devi tampak sangat lelah. Ia sangat bekerja keras untuk pertandingan dance di DBL minggu depan. Karena Devi adalah center of  the group; ia memperoleh bagian dance paling banyak dibandingkan anggota yang lain.

Seseorang masuk ke dalam ruang latihan dance. Fahmi – pacar Devi – melempar senyum hangat pada Devi. Lelaki itu juga membawa sebuah plastik berisi kotak nasi dan ayam goreng. Fahmi duduk di samping gadisnya dan memberikan makan siang yang dibelinya tidak jauh dari tempat latihan dance Devi.

“Tau aja kalo Aku lagi laper.” Kata Devi senang sambil membuka kardus berisi nasi dan ayam goreng tersebut.

Fahmi mengacak rambut Devi yang dikucir kuda. “Tau – lah. Kamu ngapain sih latihan sampe siang gini? Temen – temenmu aja udah pulang.”

Devi mengacungkan lima jarinya sebagai isyarat ‘sebentar’ pada Fahmi. Gadis yang menjadi leader di club dance sekolah itu masih sibuk mengunyah ayam dan nasi sampai lembut. Fahmi terkekeh melihat pacarnya sambil mengangguk – angguk mengerti.

“Aku kan center – nya Mas. Biar dance sekolah kita menang, makanya aku juga harus kerja keras.” Kata Devi setelah berhasil menelan makanan dimulutnya.

Lelaki yang merupakan kakak kelas Devi itu pun tampak tak setuju dengan jawaban Devi. Fahmi kasihan melihat Devi, karena hanya Devi yang inisiatif bekerja keras. Dari mulai surat perizinan, surat permohonan dana, sampai masalah kostum pentas pun semuanya yang mengurus Devi. Sebenarnya, bukan karena teman – teman yang lain tidak bisa mengurus. Tapi, Devi lebih senang kalau dia yang mengerjakan sendiri – menurutnya hal itu akan lebih cepat dan efisien waktu.

“Anggota dance – nya yang anak kelas dua cuma Aku sama Nadia, Mas. Yang lainnya masih adik kelas. Mereka belum tau soal perizinan dan lain – lain. Lagian, waktunya udah mepet banget Mas.” Kata Devi menjelaskan.

Fahmi membelai kepala Devi lembut sambil menatap kekasihnya itu lekat – lekat. “Makan yang banyak.”

Devi meringis hingga memperlihatkan matanya yang tersenyum. Ia kembali melanjutkan makannya dengan lahap. Latihan dari jam delapan pagi sampai jam dua belas siang cukup membuat perutnya kelaparan. Bahkan, Devi sudah menghabiskan tiga botol air minum berukuran 500 mili liter.

Fahmi mengeluarkan satu pack tisu kering dan tisu basah dari dalam tas ranselnya. Ia sudah menyiapkan itu semua setiap membawa makanan untuk Devi. Tak lupa, Fahmi juga mengeluarkan satu botol air minum dari tasnya. Sudah menjadi hal yang biasa bagi Fahmi kalau tasnya penuh dengan barang – barang seperti itu. Tas ransel Fahmi adalah kantong ajaib untuk Devi.


Devi membersihkan mulutnya dengan tisu kering dan membersihkan tangannya dengan tisu basah. Tangan Devi tidak begitu kotor karena ia tidak memegang ayam gorengnya secara langsung. Devi memakan ayam goreng itu dengan bantuan sendok plastik dan kekuatan dari dalam.

“Mas, aku pengen deh club dance sekolah kita punya manajer. Jadi, ada yang ngurusin gitu..” Kata Devi sembari membuka tutup botol air minum.

“Ya kamu aja yang jadi manajer. Kamu nggak usah nge – dance lagi. Kalo kamu nge – dance terus, nanti makin banyak yang naksir.” Sahut Fahmi santai; sukses membuat Devi yang sedang minum pun tersedak.

Devi batuk – batuk sambil memukul – mukul dadanya. Fahmi hanya tersenyum mengejek melihat gadis di sampingnya. Ia tidak menolong sama sekali. Karena memang tidak tahu mau menolong seperti apa. Devi yang kesal pun memukul lengan Fahmi cukup keras.

“Hahaha. Gitu aja udah batuk.” Ledek Fahmi disertai tawa bahagia.

“Jahat banget.” Gerutu Devi sambil membuang muka.

“Hahahaha.” Fahmi masih tertawa senang – sebenarnya lebih mendekati mengejek.

Devi tidak menggubris Fahmi. Gadis itu memasukkan botol air minum yang sudah habis dan kardus makanannya tadi ke dalam plastik. Lalu, ia beranjak mengambil ponselnya yang berada di atas speaker. Ia memberesi barang – barangnya, lalu bergegas meninggalkan ruang latihan.

Fahmi bangkit dari duduknya; menyadari Devi pergi meninggalkannya. Fahmi memanggil – manggil nama Devi tapi gadis itu tidak menggubris. Devi keluar dari ruang latihan dan menutup pintunya dengan kasar. Fahmi terkekeh; ia mengejar Devi hingga bisa menyamai langkah kaki Devi.

“Jangan marah lah. Mukamu tambah jelek lho.” Fahmi masih meledek sambil mencubit pipi kanan Devi.

Devi hanya diam dengan tampang kesal. Langkah kakinya lebar dan cepat. Fahmi masih bisa mensejajari langkah pacarnya, karena faktor tinggi. Fahmi terus – terusan membujuk Devi untuk tidak ngambek padanya.

“Maaf dek. Maaf. Mas salah. Maaf deh. Mas ngelarang kamu nge – dance ‘kan karena Mas sayang sama kamu dek.” Kata Fahmi sambil memegang lengan kanan Devi.

Devi menghentikan langkahnya. Ia menatap Fahmi dengan tatapan kesal. “Mas, ‘kan aku leader.”

Fahmi tersenyum hangat. Ia menatap kekasihnya itu lekat – lekat sambil memegang kedua pipi Devi. “Iya aku tau. Aku nggak maksa kamu buat berhenti nge – dance kok. Aku tetep dukung apa yang kamu mau. Aku cuma bercanda sayang.” Kata Fahmi lembut.

Hati Devi luluh. Suara Fahmi yang menenangkan dan mata Fahmi yang teduh semacam heroin khusus milik Devi.

“Hmmm..” Devi mengangguk dan kedua matanya berkaca – kaca.

Fahmi tersenyum. Ia mencubit gemas kedua pipi gadisnya, lalu menggandeng tangan Devi. Ia tidak akan memeluk atau merangkul Devi seperti remaja – remaja pacaran yang lainnya. Lelaki tampan itu masih tahu agama, masih tahu norma. Ia memiliki prinsip menghargai seorang wanita, karena yang melahirkannya ke dunia ini adalah seorang wanita.

Fahmi dan Devi pun melanjutkan langkah mereka keluar dari gedung tempat latihan dance.

OoooO


Seminggu kemudian.

Hari ini pertandingan basket dan dance antar sekolah dimulai. Fahmi dan teman – teman satu tim berserta pelatih tengah bersiap – siap karena akan mulai bertanding, begitu pula dengan tim dance Devi. Tim dance Devi akan tampil saat pertandingan tim basket Fahmi sedang break.

Host acara sudah memanggil nama – nama pemain yang akan bertanding basket. Di dalam hati, Fahmi terus berdoa untuk timnya agar menang. Selain itu, Fahmi berdoa untuk menghilangkan kegelisahan yang ia rasakan tiba – tiba. Tidak biasanya ia gelisah saat akan tanding basket. Tapi – sejak tadi pagi – perasaannya terus – terusan tidak enak dan memikirkan Devi.

Wasit melambungkan bola ke atas. Fahmi berhasil mendapat bola, dan pertandingan pun dimulai. Para suporter berteriak menyemangati tim basket dari sekolahnya masing – masing. Fahmi berhasil mencetak three point. Untuk quarter pertama, tim basket Fahmi berada diposisi aman.

Suporter dari sekolah Fahmi semakin bersemangat. Dilayar score, poin tim basket Fahmi terus bertambah tinggi. Selisih score antara tim basket Fahmi dengan tim lawan sangat jauh. Devi yang melihat dari kejauhan tersenyum bahagia. Devi menyatukan kedua telapak tangannya; dalam hati ia berdoa untuk tim basket sekolahnya agar menang.

Peluit berbunyi. Pertandingan babak pertama dihentikan dengan perolehan poin tiga puluh dibanding sepuluh. Pelatih memberikan senyum bahagia pada anak – anak didiknya karena bisa memperoleh score yang tinggi dibabak pertama. Akan cukup sulit bagi tim lawan untuk mengejar ketertinggalannya di babak kedua. Fahmi dan teman – temannya duduk sambil meneguk air botol yang sudah disediakan.

Tim dance Devi keluar dari persembunyian. Mereka tampil sangat wah. Fahmi terkejut melihat penampilan tim dance Devi. Bukan terkejut dengan dance mereka; Fahmi sudah tahu kalau dance mereka akan sangat bagus. Yang membuat Fahmi terkejut adalah kostum dance mereka. Bisa dibilang sangat terbuka; meskipun kaos yang dikenakan tim dance itu panjang tetapi rok mereka sangat pendek.

Para penonton senang melihatnya, tapi tidak dengan Fahmi. Tubuh Devi terlihat sangat seksi; dengan pakaian yang seperti itu bisa mengundang hal yang tidak diinginkan. Melihat Devi, perasaan Fahmi makin kalut tak karuan. Jantungnya berdegup sangat cepat dan ia mengalami keringat dingin.

“Ndre, minta minum lagi.” Kata Fahmi pada teman yang duduk di sampingnya. Kebetulan, stok air botol berada tidak jauh dari tempat duduk Andre.

Andre mengangguk, lalu memberikan botol air minum baru pada Fahmi. Dengan segera, Fahmi meneguk air botol itu hingga habis dalam sekali tegukan. Ia minum lagi bermaksud untuk menghilangkan kecemasannya, tapi tetap saja tidak bisa.

“Eh Fahmi, kenapa kamu tiba – tiba pucet?” Tanya Pak Pelatih saat tanpa sengaja melihat Fahmi.

Fahmi menggeleng. “Nggak apa – apa, Pak.” Sahutnya pelan.

“Ya udah. Istirahat dulu. Kita diskusi strategi lima menit lagi.” Kata Pak Pelatih sebelum kembali fokus pada ponselnya.

Fahmi terdiam. Ia mengontrol dirinya sendiri. Ia terus berdoa dalam hati – berharap tidak akan terjadi hal yang buruk pada tim basketnya atau pun pada Devi.

“Anak – anak. Kumpul.” Kata Pak Pelatih.

Anak – anak tim basket pun mendekat pada pelatih, begitu juga dengan Fahmi. Leader tim basket itu berusaha menghilangkan pikiran – pikiran buruk yang bermunculan dikepalanya. Ia mencoba fokus pada pengarahan pelatih. Andre, yang berdiri di samping Fahmi, menepuk – nepuk punggung Fahmi pelan.

“Fokus, bro.” Kata Andre menyemangati.

Fahmi tersenyum singkat dan mengangguk pelan. Ia berusaha memusatkan perhatiannya pada pelatih. Fokus mendengarkan strategi untuk babak kedua.

Penampilan tim dance Devi pun selesai. Mereka segera kembali ke back stage. Fahmi mencuri pandang – melihat Devi. Tampak sekali dari sorot mata Fahmi, kalau ia sangat khawatir pada Devi. Setelah Devi menghilang dari balik pintu, Fahmi kembali fokus mendengarkan pelatih.

OoooO


Setelah pertandingan tim sekolahnya selesai, Fahmi berlari menuju back stage mencari kekasihnya. Perasaan lelaki itu sudah tak karuan. Ia sudah tak tahan lagi. Kalut, gelisah menyelimuti sekujur tubuh lelaki itu. Keringat dingin membasahi punggung Fahmi. Wajahnya makin tampak pucat, hingga bibirnya ikut memutih.

Fahmi masuk ke dalam ruangan tempat para dancer berkumpul. Ia mencari – cari sosok Devi di sana. Dan hasilnya nihil. Di ruangan itu hanya ada teman – teman Devi dan tim dance dari sekolah lain.

“Nad, Devi kemana?” Tanya Fahmi saat kebetulan Nadia akan keluar dari ruangan.

“Tadi sih bilangnya ke kamar mandi, Mas.” Sahut Nadia sambil menunjuk ke arah kamar mandi.

“Sendirian? Kok nggak kamu temenin?” Tanya Fahmi panik.

“Lho emang kenapa Mas?” Nadia malah bertanya balik; ia bingung.

Fahmi tak menjawab. Ia segera berlari menuju kamar mandi. Lokasi kamar mandi dan back stage cukup jauh. Fahmi hafal bagaimana tata letak gedung pertandingan basket. Sudah sejak SMP, Fahmi bertanding basket di gedung itu. Ia tahu betul kalau lorong arah ke kamar mandi itu sangat sepi dan cukup gelap.

Fahmi khawatir kalau terjadi sesuatu pada Devi. Mengingat pakaian yang dikenakan Devi cukup terbuka dan seksi, semakin menambah kepanikan lelaki itu. Belum sempat Fahmi sampai di kamar mandi, ia melihat sosok Devi berjalan sendirian sambil menangis. Fahmi makin panik. Ia berlari menghampiri Devi.

Fahmi memegang kedua bahu Devi. “Kamu kenapa?” Tanya Fahmi panik bukan main.
Devi menundukkan kepalanya dan masih menangis terisak. Kedua tangannya saling berpegangan erat seperti anak kecil yang sedang ketakutan. Bahkan, kaki kurusnya sampai bergetar.

“Devi.. Dek, kamu kenapa?” Tanya Fahmi semakin panik melihat Devi yang menangis tersedu - sedan.

“Mas.. aku takut..” Kata Devi tersendat dan gemetaran.

Fahmi menghapus air mata Devi yang mengalir deras. “Ya udah. Nanti aja ceritanya. Kita pergi dulu dari sini.” Kata Fahmi lembut.

Fahmi merangkul bahu Devi, dan membawa Devi menuju parkiran mobil. Fahmi membukakan pintu untuk Devi, lalu ia juga masuk ke dalam mobil. Fahmi mengambil jaket yang ada dikursi belakang, dan menutupi kaki kekasihnya dengan jaket tersebut.

Fahmi mengambil ponselnya dari dalam dasbor. Kemudian, ia mencari nama pelatih dikontak ponselnya. Setelah ketemu, ia segera menghubungi pelatihnya itu.

“Pak. Aku harus pulang duluan. Ada urusan mendadak.” Kata Fahmi.

“Oke.” Sahut si pelatih di telepon.

Fahmi memutus panggilannya, dan menghubungi seseorang lagi. Ia menghubungi Nadia, untuk memberi tahu kalau Devi sudah pulang bersamanya. Setelah itu, Fahmi meletakkan ponselnya di tempat dekat hand rem mobil.

“Kamu kenapa dek?” Tanya Fahmi khawatir.

Fahmi mengambil selembar tisu untuk menghapus air mata kekasihnya. Make up Devi luntur, dan wajah Devi sangat merah. Fahmi pun mengambil air botol yang ada dikursi belakang, dan memberikannya pada Devi.

“Minum dulu. Terus cerita sama aku.” Kata Fahmi sambil memberikan botol minum yang tutupnya sudah dibuka.

Devi meminum air botol tersebut. Ia mencoba berhenti menangis dan menghapus air matanya. Ia menatap Fahmi dengan tatapan sendu. Dan air matanya menetes lagi.

“Hei, hei, kenapa?” Tanya Fahmi lembut sambil menghapus air mata Devi.

Devi terdiam. Ia menghirup napas dalam – dalam, lalu mulai mengatakan sesuatu. Ia menceritakan kalau saat keluar dari kamar mandi ada seorang laki – laki tak dikenal berlaku jahat padanya. Dengan susah payah, Devi mengatakan kalau ia mengalami pelecehan seksual.

Fahmi terkejut mendengar kekasihnya mendapatkan perlakuan keji itu. Hati Fahmi sangat sakit; jantungnya serasa ditusuk oleh ribuan pisau tajam. Persendian Fahmi mendadak linu, dan keringat dingin disekujur tubuhnya.

Fahmi merasakan tubuhnya sangat lemas, tak berdaya. Kekuatannya mendadak hilang. Kedua lututnya sangat lemas. Matanya pun berair dan memerah. Wajah Fahmi makin pucat, dan buliran – buliran bening keluar dari pelupuk matanya.

“Dek..” Panggil Fahmi dengan suara parau.

Tangis Devi pecah. Ia menangis tersedu – sedan lagi. Bayang – bayang kejadian beberapa menit yang lalu memenuhi kepalanya. Ia sangat ketakutan.

“Mas..” Gumam Devi disela isak tangisnya.

Fahmi ikut menangis. Ia membawa Devi ke dalam dekapannya. Untuk pertama kalinya, lelaki itu melanggar prinsip yang sudah ia buat. Ia terpaksa memeluk Devi. Kondisi psikis Devi sangat terguncang saat ini. Tidak ada yang bisa Fahmi lakukan selain membawa Devi ke dalam dekapannya. Fahmi tidak bisa berpikir jernih.

Fahmi membelai lembut kepala kekasihnya. “Udah.. sabar.. Ada Mas disini.. Nggak usah takut..”

Devi makin menangis di dalam dekapan Fahmi. Ia memegang baju Fahmi erat – erat saking takutnya.

“Udah sayang.. udah..” Kata Fahmi menenangkan dan masih membelai kepala Devi dengan lembut. 


Bersambung...