Nana melempar tasnya
sembarang di sofa. Kevin geleng – geleng
kepala melihat sifat Nana yang belum berubah. Kasar. Sembrono. Itulah Nana.
Kevin yang malam ini sengaja mampir sebentar ke apartemen Nana; mengambil tas
Nana lalu meletakkannya dengan rapi di dalam kamar Nana. Sudah hal biasa bagi Kevin keluar – masuk kamar
Nana. Empat tahun lebih mereka bersama – sebagai sahabat – membuat tidak ada
lagi jarak di antara mereka. Tapi, tetap ada batas – batas tertentu yang harus
mereka patuhi.
Nana membuka kulkas; ia mengambil dua
telur ayam. Lalu, menyiapkan sebuah teflon dan mentega. Kemudian, Nana
mengoleskan mentega di atas teflon, menyalakan api kecil. Nana langsung memecah
telur di atas teflon. Ia tidak suka ribet. Masak seadanya saja, karena ia sudah
terlalu lelah untuk menyiapkan makanan macam – macam apalagi perlu waktu lama
untuk membuatnya.
Kevin duduk di pantry; melihat Nana yang memasak. Sama sekali tidak terlihat
seperti ahli. Kevin mendecakkan lidah sambil menggelengkan kepala. “Apa
susahnya memasak telur dadar. Nana, masak yang lain saja. Atau paling tidak kau
tambah masak yang lain. Aku sangat lapar.” Omel Kevin.
Nana hanya diam saja. Ia sibuk mengurusi
masakannya. Dirasa telur gorengnya sudah matang, ia pun mematikan kompor. Lalu,
mengambil dua piring dengan nasi secukupnya, dan meletakkan telur yang baru
saja ia masak ke masing – masing piring.
“Makan saja.” Kata Nana sembari
memberikan salah satu piring pada Kevin.
Nana beranjak; ia duduk di samping
Kevin. Tanpa banyak bicara, Nana langsung melahap makan malamnya. “Enak. Kalau
kau lapar, makanan sesederhana apa pun akan terasa enak.” Kata Nana dengan
mulut terisi makanan.
Kevin melirik Nana; tatapannya sedikit
sadis. Ia menghela napas panjang, lalu memakan makanannya. Memang enak. Tapi, ini terlalu sederhana – pikir
Kevin. Di rumahnya, pembantu biasa menyiapkan hidangan lengkap. “Hmm..” Sahut
Kevin dengan deheman kesal.
“Selama aku tidak masuk sekolah. Apa Si
Yeon terus mengganggumu?” Tanya Kevin memecah keheningan malam.
Nana terdiam. Ia berhenti makan selama
beberapa detik, lalu melanjutkan makan lagi. Mendengar nama Si Yeon cukup
membuatnya muak, ingin muntah. Napsu makannya saja mendadak hilang. Tapi,
karena sangat lapar, Nana tetap menghabiskan makanannya. “Hmm... Tapi ada guru
yang membantuku dari belakang.” Sahut Nana cuek.
Kevin langsung menoleh pada Nana.
“Siapa?” Tanya Kevin dengan kedua mata membulat.
Nana membalas tatapan Kevin dengan
tatapan sinis. Kevin selalu saja panik kalau ada orang lain yang membela Nana. Air muka Kevin seperti orang yang sangat takut
kehilangan sesuatu. Ya tapi, itu memang benar. Kevin takut kehilangan Nana.
Sangat takut. Sampai – sampai Kevin tak sanggup membayangkan hidupnya tanpa
seorang Nana.
“Guru baru. Tenang saja.” Jawab Nana
santai.
Nana beranjak dari duduknya. Ia mencuci
piring yang ia gunakan barusan. Kevin mengikuti; ia berdiri di samping Nana
sambil terus menginterogasi Nana. Kevin mendadak seperti seorang detektif.
Sayang, Nana tidak menggubris. Nana lelah. Otaknya sudah malas memikirkan
jawaban untuk pertanyaan Kevin.
“Guru siapa? Ku dengar ada guru baru
yang masih sangat muda. Apakah guru itu? benarkah? Sungguh? Nana... Siapa dia?
Benarkah dia guru
itu?” Tanya Kevin terus –
terusan sambil mengikuti Nana yang berjalan – jalan membereskan rumahnya.
“Apa guru itu menyukaimu?” Pertanyaan
Kevin yang ini langsung membuat Nana berhenti bergerak. Nana membeku. Nana
termenung.
Perasaan Kevin mulai tidak enak. Ia
menatap Nana penuh arti. Menanti jawaban dari mulut Nana. Ia sangat berharap
guru itu tidak menyukai Nana. Karena bisa saja seorang guru menyukai siswinya
apalagi guru itu masih sangat muda.
“Tidak.” Sahut Nana singkat. “Aku tidak
tahu.” Nana melanjutkan. Ia kembali membereskan rumahnya.
Nana mengambil tas Kevin lalu
memberikannya pada Kevin. “Cepat pulang. Aku mau tidur.” Ucap Nana cuek sambil
berlalu pergi menuju dapur untuk minum.
Kevin menghela napas panjang. Setiap ia
ke rumah Nana, bukan ia yang ingin pulang tapi justru Nana yang selalu mengusirnya.
Kevin tahu sekarang sudah jam dua dini hari. Tidak baik memang, kalau seorang
siswa ada di rumah seorang siswi. Jika orang lain mengetahuinya; bisa – bisa
mereka salah paham.
“Aku pulang..” Kata Kevin bergegas
pulang dari rumah Nana.
Nana hanya diam. Ia tidak mengantar
Kevin sampai
ke depan pintu. Tidak
perlu. Sudah biasa Kevin pulang tanpa embel
– embel di antar sampai ke depan pintu. Jarak
antara dapur, ruang tamu, dan pintu rumah ‘kan tidak jauh. Maklum, ini
apartemen. Dan Nana tinggal di apartemen yang bisa dibilang; apartemen kelas
menengah. Karena yang tinggal hanya dua orang, jadi tidak perlu apartemen high class yang luasnya dua kali lipat dari apartemennya sekarang.
Bunyi pintu rumah tertutup mengisi
keheningan rumah Nana. Nana meletakkan gelas yang dibawanya ke tempat cuci piring. Nana melangkah ke dalam kamarnya. Ia
melamun di sana. Tiba – tiba kepalanya terasa sangat penuh, panas – banyak
pikiran. Guru Cha, Kevin, dan Ibunya seolah –
olah berputar – putar dikepala Nana. Kebaikan Guru Cha yang berlebihan membuat
Nana bingung, bahkan membuatnya salah tingkah. Lebih parahnya; jantung Nana
berdegup
lebih kencang ketika
bertemu dengan Guru Cha. Nana
takut kalau sewaktu – waktu ia jatuh cinta pada guru tampan itu.
Nana merebahkan tubuhnya dikasur.
Pikiran tentang Kevin tak kalah membuatnya bingung. Nana tahu betul Kevin
sangat menyukainya. Nana juga sangat sadar kalau sudah banyak hal yang Kevin
korbankan untuk dirinya. Tapi, sampai saat ini, Kevin hanyalah seorang sahabat
bagi Nana. Tidak lebih. Nana sudah berulang kali mencoba membalas perasaan
tulus Kevin, tetap saja hasilnya nol. Belum ada ruang untuk Kevin dilubuk hati
Nana yang paling dalam.
Nana berguling – guling di atas kasur.
Ia berteriak – teriak tak jelas sambil memeluk guling. Terkadang Nana frustasi
sendiri mengingat ibunya. Sudah tiga hari ini ibunya
berada di Cina; mengurus cabang agensi Square
Entertainment disana. Dan selama tiga hari ini pula,
ibunya sama sekali tidak menghubungi Nana. Ingin rasanya, Nana mengubungi
ibunya duluan. Tapi, Nana takut kena marah; bisa jadi saat ia menghubungi
ibunya, ibunya sedang sangat sibuk. Semenjak kepergian ayahnya, Ibu Nana
menjadi sangat sensitif pada Nana. Mudah marah. Temperamental.
Belum sempat Nana mengganti seragamnya
dengan pakaian tidur, rasa kantuk menguasai dirinya. Kedua mata Nana seperti
diberi lem. Hanya tinggal beberapa senti; membuat mata
Nana terlihat sangat sipit. Satu menit kemudian, mata Nana terpejam. Nana sudah
masuk ke dalam alam mimpi.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar