Rabu, 04 November 2015

17:25 - 7

Nana melempar tasnya sembarang di sofa. Kevin geleng – geleng kepala melihat sifat Nana yang belum berubah. Kasar. Sembrono. Itulah Nana. Kevin yang malam ini sengaja mampir sebentar ke apartemen Nana; mengambil tas Nana lalu meletakkannya dengan rapi di dalam kamar Nana. Sudah hal biasa bagi Kevin keluar – masuk kamar Nana. Empat tahun lebih mereka bersama – sebagai sahabat – membuat tidak ada lagi jarak di antara mereka. Tapi, tetap ada batas – batas tertentu yang harus mereka patuhi. 

Nana membuka kulkas; ia mengambil dua telur ayam. Lalu, menyiapkan sebuah teflon dan mentega. Kemudian, Nana mengoleskan mentega di atas teflon, menyalakan api kecil. Nana langsung memecah telur di atas teflon. Ia tidak suka ribet. Masak seadanya saja, karena ia sudah terlalu lelah untuk menyiapkan makanan macam – macam apalagi perlu waktu lama untuk membuatnya.

Kevin duduk di pantry; melihat Nana yang memasak. Sama sekali tidak terlihat seperti ahli. Kevin mendecakkan lidah sambil menggelengkan kepala. “Apa susahnya memasak telur dadar. Nana, masak yang lain saja. Atau paling tidak kau tambah masak yang lain. Aku sangat lapar.” Omel Kevin.

Nana hanya diam saja. Ia sibuk mengurusi masakannya. Dirasa telur gorengnya sudah matang, ia pun mematikan kompor. Lalu, mengambil dua piring dengan nasi secukupnya, dan meletakkan telur yang baru saja ia masak ke masing – masing piring.

“Makan saja.” Kata Nana sembari memberikan salah satu piring pada Kevin.

Nana beranjak; ia duduk di samping Kevin. Tanpa banyak bicara, Nana langsung melahap makan malamnya. “Enak. Kalau kau lapar, makanan sesederhana apa pun akan terasa enak.” Kata Nana dengan mulut terisi makanan.

Kevin melirik Nana; tatapannya sedikit sadis. Ia menghela napas panjang, lalu memakan makanannya. Memang enak. Tapi, ini terlalu sederhana – pikir Kevin. Di rumahnya, pembantu biasa menyiapkan hidangan lengkap. “Hmm..” Sahut Kevin dengan deheman kesal.

“Selama aku tidak masuk sekolah. Apa Si Yeon terus mengganggumu?” Tanya Kevin memecah keheningan malam.

Nana terdiam. Ia berhenti makan selama beberapa detik, lalu melanjutkan makan lagi. Mendengar nama Si Yeon cukup membuatnya muak, ingin muntah. Napsu makannya saja mendadak hilang. Tapi, karena sangat lapar, Nana tetap menghabiskan makanannya. “Hmm... Tapi ada guru yang membantuku dari belakang.” Sahut Nana cuek.

Kevin langsung menoleh pada Nana. “Siapa?” Tanya Kevin dengan kedua mata membulat.

Nana membalas tatapan Kevin dengan tatapan sinis. Kevin selalu saja panik kalau ada orang lain yang membela Nana. Air muka Kevin seperti orang yang sangat takut kehilangan sesuatu. Ya tapi, itu memang benar. Kevin takut kehilangan Nana. Sangat takut. Sampai – sampai Kevin tak sanggup membayangkan hidupnya tanpa seorang Nana.

“Guru baru. Tenang saja.” Jawab Nana santai.

Nana beranjak dari duduknya. Ia mencuci piring yang ia gunakan barusan. Kevin mengikuti; ia berdiri di samping Nana sambil terus menginterogasi Nana. Kevin mendadak seperti seorang detektif. Sayang, Nana tidak menggubris. Nana lelah. Otaknya sudah malas memikirkan jawaban untuk pertanyaan Kevin.

“Guru siapa? Ku dengar ada guru baru yang masih sangat muda. Apakah guru itu? benarkah? Sungguh? Nana... Siapa dia? Benarkah dia guru itu?” Tanya Kevin terus – terusan sambil mengikuti Nana yang berjalan – jalan membereskan rumahnya.

“Apa guru itu menyukaimu?” Pertanyaan Kevin yang ini langsung membuat Nana berhenti bergerak. Nana membeku. Nana termenung.

Perasaan Kevin mulai tidak enak. Ia menatap Nana penuh arti. Menanti jawaban dari mulut Nana. Ia sangat berharap guru itu tidak menyukai Nana. Karena bisa saja seorang guru menyukai siswinya apalagi guru itu masih sangat muda.

“Tidak.” Sahut Nana singkat. “Aku tidak tahu.” Nana melanjutkan. Ia kembali membereskan rumahnya.

Nana mengambil tas Kevin lalu memberikannya pada Kevin. “Cepat pulang. Aku mau tidur.” Ucap Nana cuek sambil berlalu pergi menuju dapur untuk minum.

Kevin menghela napas panjang. Setiap ia ke rumah Nana, bukan ia yang ingin pulang tapi justru Nana yang selalu mengusirnya. Kevin tahu sekarang sudah jam dua dini hari. Tidak baik memang, kalau seorang siswa ada di rumah seorang siswi. Jika orang lain mengetahuinya; bisa – bisa mereka salah paham.

“Aku pulang..” Kata Kevin bergegas pulang dari rumah Nana.

Nana hanya diam. Ia tidak mengantar Kevin sampai ke depan pintu. Tidak perlu. Sudah biasa Kevin pulang tanpa embel – embel di antar sampai ke depan pintu. Jarak antara dapur, ruang tamu, dan pintu rumah ‘kan tidak jauh. Maklum, ini apartemen. Dan Nana tinggal di apartemen yang bisa dibilang; apartemen kelas menengah. Karena yang tinggal hanya dua orang, jadi tidak perlu apartemen high class yang luasnya dua kali lipat dari apartemennya sekarang.

Bunyi pintu rumah tertutup mengisi keheningan rumah Nana. Nana meletakkan gelas yang dibawanya ke tempat cuci piring. Nana melangkah ke dalam kamarnya. Ia melamun di sana. Tiba – tiba kepalanya terasa sangat penuh, panas – banyak pikiran. Guru Cha, Kevin, dan Ibunya seolah – olah berputar – putar dikepala Nana. Kebaikan Guru Cha yang berlebihan membuat Nana bingung, bahkan membuatnya salah tingkah. Lebih parahnya; jantung Nana berdegup lebih kencang ketika bertemu dengan Guru Cha. Nana takut kalau sewaktu – waktu ia jatuh cinta pada guru tampan itu.

Nana merebahkan tubuhnya dikasur. Pikiran tentang Kevin tak kalah membuatnya bingung. Nana tahu betul Kevin sangat menyukainya. Nana juga sangat sadar kalau sudah banyak hal yang Kevin korbankan untuk dirinya. Tapi, sampai saat ini, Kevin hanyalah seorang sahabat bagi Nana. Tidak lebih. Nana sudah berulang kali mencoba membalas perasaan tulus Kevin, tetap saja hasilnya nol. Belum ada ruang untuk Kevin dilubuk hati Nana yang paling dalam.

Nana berguling – guling di atas kasur. Ia berteriak – teriak tak jelas sambil memeluk guling. Terkadang Nana frustasi sendiri mengingat ibunya. Sudah tiga hari ini ibunya berada di Cina; mengurus cabang agensi Square Entertainment disana. Dan selama tiga hari ini pula, ibunya sama sekali tidak menghubungi Nana. Ingin rasanya, Nana mengubungi ibunya duluan. Tapi, Nana takut kena marah; bisa jadi saat ia menghubungi ibunya, ibunya sedang sangat sibuk. Semenjak kepergian ayahnya, Ibu Nana menjadi sangat sensitif pada Nana. Mudah marah. Temperamental.

Belum sempat Nana mengganti seragamnya dengan pakaian tidur, rasa kantuk menguasai dirinya. Kedua mata Nana seperti diberi lem. Hanya tinggal beberapa senti; membuat mata Nana terlihat sangat sipit. Satu menit kemudian, mata Nana terpejam. Nana sudah masuk ke dalam alam mimpi. 


Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar